Kamis, 24 Februari 2011

Pendekatan Berbasis Hak untuk Pembangunan Perdesaan Terpadu



Pendekatan Berbasis Hak untuk Pembangunan Perdesaan Terpadu

Pembangunan Pedesaan Terpadu adalah mengenai penyediaan kesempatan pada penduduk desa untuk memperbaiki kehidupan mereka yaitu dengan bergerak dari produksi untuk nafkah belaka menuju ke produksi untuk komersil dengan cara yang berkelanjutan. Pengembangan Perdesaan Terpadu memerlukan masukan pengetahuan, dukungan kebijakan pemerintah, pelayanan dan pembangunan prasarana, akses financial, serta komitmen untuk bekerja sama baik di tingkat lokal maupun internasional. Sementara itu, dalam kegiatan yang sama, Northern Territory Chief Minister menjelaskan bahwa, Pengembangan Perdesaan Terpadu merupakan integrasi pengembangan kegiatan usaha pedesaan dan membangun pengelolaan sumber daya alam pada pengetahuan yang kritis serta pengembangan kapasitas. Dalam konteks ini, Profesor Saragih menunjuk ‘sistem agribisnis’ sebagai contoh Pengembangan Perdesaan Terpadu di mana dilakukan pengintegrasian antara produksi pertanian dengan pemasok masukan dari hulu, pemroses dari hilir dan dari segala sektor serta pelayanan yang mendukung usaha tersebut termasuk pelayanan prasarana pemerintah, perbankan dan pelayanan financial.
Pemahaman tersebut di atas diungkap dalam Lokakarya Internasional “Pembangunan Perdesaan Terpadu Di Nusa Tenggara Timur” (2006). Dalam lokakarya itu juga diungkap kritik dan masalah, bahwa praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu di NTT telah gagal dalam memperbaiki kehidupan masyarakat pedesaan karena mereka sentralistis, teknokratis, dan fokusnya yang sempit dalam meningkatkan produksi pertanian. Kegagalan tersebut dinyatakan dalam fakta: masih meluaskan kemiskinan di pedesaan NTT, praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu tidak menghiraukan masalah pentingnya tindakan berkelanjutan, konteks lokal, pembangunan kapasitas lokal, dan partisipasi masyarakat.
Pembangunan Perdesaan Terpadu Berbasis Agribisnis. Pendekatan agrisbisnis di sini menegaskan fokus pembangunan perdesaan sebagai pembangunan pertanian, menambah nilai kepada hasilnya dan memberi orientasi pasar. Suatu sistim agribisnis terdiri dari empat subsistem, yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), (2) subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), (3) subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), dan (4) subsistem jasa layanan pendukung agribisnis (supporting institution).
Subsistem agribisnis hulu mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas. Dengan demikian, di dalamnya termasuk kegiatan pabrik pupuk, usaha pengadaan bibit unggul, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, ternak maupun ikan; pabrik pakan untuk ternak dan ikan; pabrik pestisida; serta kegiatan perdagangannya.
Subsistem agribisnis usahatani merupakan kegiatan yang selama ini dikenal sebagai kegiatan usahatani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan, serta dalam arti khusus, termasuk pula kegiatan perhutanan; yang berupaya mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal teknologi dan manajemen ) untuk menghasilkan produk pertanian.
Subsistem agribisnis hilir, sering pula disebut sebagai kegiatan agroindustri, adalah kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku. Kegiatan pabrik minyak kelapa sawit, industri pengalengan ikan, pabrik tepung tapioka dan banyak kegiatan lain termasuk dalam kelompok subsistem ini. Subsistem perdagangan hasil pertanian atau hasil olahannya merupakan kegiatan terakhir untuk menyampaikan output sistem agribisnis kepada konsumen, baik konsumen di dalam negeri maupun konsumen di luar negeri (ekspor). Kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan merupakan bagian dari subsistem ini.
Subsistem jasa penunjang (supporting institution) yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kibijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Secara ringkas dapat dinyatakan, sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertical antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem dalam komoditas. Keempat subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lain. Kemandegan dalam satu subsistem akan mengakibatkan kemandegan subsistem lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri tidak mungkin berkembang tanpa dukungan pengadaan bahan baku dari kegiatan produksi pertanian maupun dukungan sarana perdagangan dan pemasaran.
Dengan paradigma baru (agribisnis) tersebut, maka cara membangun pertanian adalah membangun keempat subsistem agribisnis tersebut mulai dari hulu hingga ke hilir secara simultan dan konsisten. Membangun dan mengembangkan agroindustri (agribisnis hilir) harus seiring dengan pengembangan agribisnis usahatani dan agribisnis hulu. Hal ini berbeda dengan paradigma lama dimana pembangunan pertanian yang kita anut di masa lalu, yang membangun pertanian hanya pada usahatani saja.
Pendekatan mata pencaharian penduduk desa yang berkelanjutan untuk pembangunan pedesaan terpadu. Pendekatan yang diajukan oleh Djoeroemana, Salean, dan Nope (2006) ini menegaskan bahwa Pengembangan Perdesaan Terpadu haruslah mencakup sektor fisik, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Elemen-elemen kunci dalam pendekatan ini adalah:
• Berpusat pada masyarakat dan dikendalikan oleh masyarakat;
• Pendekatan holistik yang dibangun atas dasar pengetahuan yang telah ada pada masyarakat mengenai kesempatan, kendala serta kapasitasnya untuk peningkatan dan pertumbuhan;
• Dinamik dan bersedia untuk berubah dengan berbagi dalam belajar dan memonitor partisipasi;
• Berfokus pada pengembangan kapasitas untuk individu dan jaringan sosial yang dapat meningkatkan potensial yang ada demi mencapai sasaran;
• Harus dibangun atas dasar pemahaman setara dalam berbagai permasalahan yang relevan serta konteksnya dengan masyarakat kecil dan kebijakan serta strategi makro dan segala kaitannya;
• Adanya kelangsungan dan berkelanjutan suatu proses dan hasil (dalam suatu siklus).
Pengembangan Perdesaan Terpadu memang sempat menjadi populer dalam pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Kenyataan tentang jumlah desa yang besar dan berikut, lapangan pertaniannya, serta masalah ketertinggalan dan kemiskinan di desa-desa tersebut, maka pengembangan perdesaan terpadu merupakan alternatif untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Menurut Waterson (dalam Andrina et.al., 1991: 368) secara dominan praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu melibatkan 6 unsur di dalam pendekatannya yaitu:
a) pertanian padat karya;
b) pekerjaan umum skala kecil yang menyerap tenaga kerja;
c) industri ringan berskala kecil yang di bangun di dalam dan di sekitar daerah pertanian;
d) swasembada lokal dan partisipasi dalam pengambilan keputusan;
e) pembangunan hirarki perkotaan yang mendukung pembangunan perdesaan; dan
f) kerangka kerja institusional yang tepat guna utuk kemandirian koordinasi program multisektoral.
Dalam arus utama pembangunan perdesaan ---yang ditujukan pada peningkatan pendapatan, penyediaan pekerjaan, dan sumber penghidupan berbasis pertanian, pengembangan perdesaan terpadu juga digerakan oleh kebijakan yang menggeser pertanian intensif menuju (pembangunan) ekonomi perdesaan yang berkelanjutan (sustainable rural economies). Dalam konteks relasi antara perdesaan dan pertanian, juga terdapat situasi yang menunjuk adanya transisi dari pertanian sebagai penggerak utama digantikan oleh potensi non-pertanian sebagai faktor penting didalam pembangunan perdesaan. Sebagai hasilnya, ditemukan kenyataan difersifikasi desa, rasionalisasi kebijakan harga pertanian dan bentuk-bentuk perubahan adaptif dalam lapangan pertanian perdesaan.
Paralel dengan situasi (kebijakan) di atas, pergeseran juga terjadi pada masalah keterbatasan ukuran berbasis komoditi menuju kerangka yang lebih luas tentang kriteria pembangunan perdesaan dan lingkungan hidup. Hal ini memberi konsekuensi bahwa, pertanian dapat lebih dikembangkan apabila ada proteksi atas risiko eksternal dan dilakukannya berbagai langkah adaptasi, termasuk kini, dengan adanya tekanan isu dan dampak perubahan iklim. Kondisi ini jelaslah memberi kejelasan bahwa dalam kerangka pembangunan perdesaan dituntut adanya pemahaman tentang peran baru pertanian sebagai aktivitas multifungsi. Masalah di sini, praktek pengembangan perdesaan terpadu di Indonesia kurang berkemampuan menjawab masalah dan tantangan tersebut.
Pembangunan perdesaan jelas membutuhkan perubahan mendasar akan tujuan dan kerangka kebijakan agar lebih memiliki pendekatan yang lebih holistik. Suatu perubahan yang juga jelas membutukan alat analisis yang lebih memadai. Model pembangunan ekonomi (perdesaan) konvensional yang lebih disandarkan pada metodologi instrumental yang mengkaitkan sarana-sarana pencapaian tujuan, kurang bisa diandalkan untuk menganalisis dan menjawab masalah-masalah penting berkenaan dengan masalah struktural. Dengan begitu, memang benar, alat analisis yang baru dan lebih memadai diperlukan untuk memahami dan mengatasi masalah pembangunan perdesaan yang terus berkembang dan luas, serta sangat beragam. Dalam kerangka pengembangan kebijakan pembangunan perdesaan, Pengembangan Perdesaan Terpadu masa depan diajukan dalam konteks cara pandang ini.
Kata ‘Terpadu’ menegaskan akan obyek (pembangunan perdesaan) yang kompleks, bersifat multidimensi, dan melibatkan interaksi dari berbagai elemen/faktor. Suatu pendekatan analisis yang lebih dinamis dan holistik akan mempermudah bagi aktor ekonomi (pertanian) dan pengambil kebijakan untuk mendukung dan mengambil tindakan dalam Pengembangan Perdesaan Terpadu. Misalnya, pemahaman yang lebih kuat terhadap faktor-faktor kekuatan dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu dan kelompok masyarakat desa akan sangat mendukung bagi gerak transformasi terhadap nilai-nilai tersebut dan stuktur kelembagaan di desa. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan memberi dasar bagi cara pandang baru terhadap aktor-aktor utama pembangunan pertanian di perdesaan, yakni orang desa, petani laki-laki dan perempuan, keluarga petani, dan kelompok petani, terutama berkenaan dengan kepemilikan hak mereka dan pentingnya kedaulatan desa bagi mereka.
Sementara itu, Pembangunan Perdesaan Terpadu dalam konteks ‘sebagai instrumen percepatan pembangunan daerah tertinggal’ menjelaskan tentang suatu fokus dan komitmen politik untuk mendukung pembangunan perdesaan sebagai sarana untuk menggeser neraca indikator yang ada (melekat) di daerah (kabupaten) tertinggal untuk lepas dari ketertinggalan. Kenapa berurusan dengan fokus dan komitmen politik? Karena Pengembangan Perdesaan Terpadu dalam kerangka Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menghendaki adanya: ketegasan visi, menuntut fokus dan konsistensi akan kerangka kerja, strategi dan tujuan kebijakan pembangunan perdesaan, kapasitas dan dukungan kebijakan termasuk dalam hal: pengakuan terhadap kepemilikan hak, pelaksanaan kewajiban hukum negara (state obligation), pelaksanaan peran dan fungsi koordinasi kebijakan kantor KPDT, keterkaitan kebijakan lokal-pusat, tindakan kebijakan afirmatif dan akselerasi nilai dan potensi lokal, reformasi tata ruang dan tata guna lahan, pembaharuan dan perlindungan pemilikan dan penguasaan sumber daya agaria (agrarian reform), serta perlindungan akan akses (access reform). Di sini, ‘Bedah Desa’ disajikan sebagai ‘model pengembangan perdesaan terpadu untuk (sebagai instrumen) percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Dalam kerangka ‘Pembangunan Perdesaan Terpadu sebagai Instrumen Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal’ di sini diajukan pendekatan berbasis hak untuk memperkuat pelaksanaannya. Pendekatan berbasis hak dalam pelaksanaan Pengembangan Perdesaan Terpadu merupakan kritik pada praktek dari tindakan yang berlabel sama (PPT) selama ini. Dalam berbagai pengalaman praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu, kelemahan-kelemahan yang mudah dijumpai adalah:
• terlalu fokus pada ekonomi pertanian (produksi);
• lemah dalam pengaturan kelembagaan;
• kerja lapangan pertanian didalamnya tidak diikuti dengan agrarian reform dan access reform;
• sangat tergantung pada skema/dukungan lembaga keuangan dan perbankan (besar/kuat/nasional);
• tidak konsisten dan tidak didukung oleh kebijakan (makro) nasional;
• tidak memberi kontribusi yang berarti pada masalah penanganan kemiskinan dan peningkatan standar kesehatan.
Pembangunan perdesaan terpadu berbasis hak dalam kerangka pendekatan berbasis hak, strategi dan tindakan didasarkan pada prinsip:
• Memahami masalah perdesaan, ketertinggalan dan kemiskinan sebagai masalah hak asasi;
• Fokus pada proses (seperti: partisipasi, pemberdayaan, active citizenship) dan outcome (seperti: struktur kelembagan, mampu mengatasi masalah pemenuhan hak individu, rumah tangga dan komunitas);
• Menekankan pada realisasi hak (yang bersifat entitlement dan saling terkait);
• Mengakui hak individu dan kelompok dalam menuntut tanggung jawab dan kewajiban hukum Negara (democratic governance);
• Mengakui pentingnya bantuan, dukungan, perluasan kesempatan;
• Fokus pada penyebab struktural dan (bentuk) manifestasi masalahnya
• Didasarkan pada sumber daya, pengetahuan dan kearifan lokal,
• Mengembangkan pengaturan kelembagaan berbasis faktor penggerak perubahan (seperti: jaringan modal sosial), nilai dan potensi lokal (local driving of change)
• Mengembangkan dialog, inovasi berbasis komunitas, dan mendesakkan terjadinya perubahan ke arah dan sistem yang lebih baik dan adil;
• Memperkuat perlindungan terhadap asset dan akses (khususnya, access reform dan agrarian reform).
• Menghendaki dukungan investasi modal, skema keuangan dan perbankan yang adil dan respek terhadap hak (non-state obligation)
• Mentransformasi pembangunan pertanian menuju pembangunan pedesaan, serta pembentukan ‘pasar’ yang berkeadilan
• Menggerakkan upaya daerah (kabupaten) tertinggal untuk lepas dari ketertinggalan.
Implikasi penting dalam aplikasi pendekatan berbasis hak ini adalah:
a) Mengakui keberadaan dan/atau kepemilikan hak. Konsekuensi logis dari adanya entitlement ini maka menjadi penting untuk dilakukan analisis situasi hak-hak konstitusional penduduk desa. Analisis situasi hak ini akan memfasilitasi penduduk desa untuk mau dan mampu ‘mendefinsikan’ hak-hak mereka; menerima informasi, memahaminya, dan melakukan analisis berkenaan realisasi hak-hak konsitusional (yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945 dan kovenan pokok hak asasi manusia internasional). Di sini, penduduk desa akan mempunyai penilaian tentang kesenjangan antara realisasi hak dengan hak-hak yang dijamin konstitusi tersebut, apa penyebabnya, dan apa yang perlu dilakukan untuk menuntut hak-hak mereka (individu dan kelompok penduduk desa). Dengan begitu, upaya memahami hak-hak mereka itu akan membuka jalan bagi proses pemberdayaan;.
b) Melibatkan ‘suara’ penduduk desa dalam memahami sebab-sebab kemiskinan dan ketertinggalan, siapa saja yang mengalami dampak buruk, siapa yang mengalami dampak terburuk, dan apa yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan (formulasi/alternative) kebijakan untuk mengatasinya. Secara metodologi, pelibatan suara dapat mendayagunakan ‘Participatory Poverty Assessment’ yang diformat dan ditujukan untuk praktek di desa-desa di daerah tertinggal, Analisis Jaringan (network analysis) dan keterkaitan kelembagaannya, dan berbagai tools (alat bantu) lainnya;
c) Mendorong terjadinya proses transformasi pembangunan pedesaan dan pengaturan kelembagaannya. Di sini, penggalian informasi yang dilakukan dengan menghargai / respek pada penduduk desa, terutama berkenaan dengan faktor-faktor dan nilai-nilai yang menggerakkan kehidupan desa; apa visi masa depan mereka; pengembangan inovasi berbasis pengetahuan dan sumber daya lokal, serta secara kuat dan konsisten merealisasi apa mereka impikan merupakan cara-cara yang bergerak tanpa henti (sebagai siklus) untuk kepentingan konteks ini. Di sini diajukan pendekatan analisis empat-i untuk memfasilitasi prosesnya;
d) Menata-ulang untuk perbaikan kondisi kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam dan memperkuat akses. Secara minimal, pengembangan perdesaan terpadu memerlukan konsensus (politik) baru dalam konteks (penetapan) tata ruang dan (pemanfaatan / pengelolaan) tata guna lahan. Pemilihan, penetapan, dan memproduksi komoditi prioritas (karena ‘komoditi unggulan’ sudah tercemari) dapat dilakukan dengan membangun consensus politik berkenaan dengan penetapan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Namun demikian, tindakan ini akan lebih kuat dan bermakna apabila diikuti dengan pelaksanaan agrarian reform dan access reform;
e) Kemampuan Negara, khususnya Pemerintah dan aktor bukan-Negara dalam mendukung dan melaksanakan kewajiban pemenuhan hak dalam kerangka pembangunan perdesaan terpadu (state obligation dan non-state obligation);
f) Memperkuat dampak Pengembangan Perdesaan Terpadu

Selasa, 30 November 2010

Statement on the Right to Sanitation

United Nations E/C.12/45/CRP.1
Economic and Social Council Distr.: Restricted

Original: English

19 November 2010

Committee on Economic, Social and Cultural Rights
Forty-fifth session
Geneva, 1-19 November 2010

Statement on the Right to Sanitation
1. Lack of access to sanitation affects human dignity and undermines the enjoyment of economic, social and cultural rights. Until recently, sanitation was a largely neglected topic, though gradually it has begun to receive more attention.
2. At the 2002 World Summit on Sustainable Development in Johannesburg, a target on sanitation was added to the Millennium Development Goals emphasizing that reducing the number of people without access to sanitation is as fundamentally important as the other MDG targets. In order to raise awareness of, and to accelerate progress towards, that target, the UN General Assembly declared the year 2008 the International Year of Sanitation. The Human Rights Council, in turn, by Resolution A/HRC/RES/15/9 of 06 October 2010, reaffirmed the human right to safe drinking water and sanitation recognized by the General Assembly on 28 July 2010.
3. However, despite these positive developments, the world is clearly not making sufficient progress. Sanitation is one of the most off-track targets of the Millennium Development Goals, and recent estimates have shown that between 2006 and 2008 an additional 100 million people were left without access to improved sanitation. Recognizing this fact, Governments were called upon to redouble efforts to close the sanitation gap, in the outcome document of the High-Level Plenary Meeting of the General Assembly held in September 2010 on the theme ”Keeping the promise: united to achieve the Millennium Development Goals”.
4. 2.6 billion people do not have access to improved sanitation and over a billion people still have no option but to practice open defecation. In developing countries, as much as 80 % of wastewater is untreated and goes directly into lakes, rivers and oceans (WWDR, 2009, p. 141). As a direct consequence of this, diarrhoea is the second biggest cause of death of children under the age of five. Girls and boys do not attend school because they fall prey to diseases caused by inadequate sanitation.
5. Moreover, girls do not go to school in many parts of the world for lack of toilets, or lack of separate toilets for them. People living in poverty are disproportionately impacted by lack of access to sanitation. Recent research estimates that, for every dollar invested in sanitation, there is about a nine-dollar long-term benefit in costs averted and productivity gained.
6. The Committee, being fully aware of the relevance of sanitation for the enjoyment of an adequate standard of living, has regularly raised the issue of sanitation in its dialogue with States Parties and made specific reference to it in several of its General Comments.

7. The Committee reaffirms that, since sanitation is fundamental for human survival and for leading a life in dignity, the right to sanitation is an essential component of the right to an adequate standard of living, enshrined in Article 11 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. The right to sanitation is also integrally related, among other Covenant rights, to the right to health, as laid down in Article 12 paragraphs 1 and 2 (a), (b) and (c), the right to housing, in Article 11, as well as the right to water, which the Committee recognized in its General Comment No. 15. It is significant, however, that sanitation has distinct features which warrant its separate treatment from water in some respects. Although much of the world relies on waterborne sanitation, increasingly sanitation solutions which do not use water are being promoted and encouraged.
8. In line with the definition of sanitation as proposed by the Independent Expert on water and sanitation as “a system for the collection, transport, treatment and disposal or re-use of human excreta and associated hygiene”, States must ensure that everyone, without discrimination, has physical and affordable access to sanitation, “in all spheres of life, which is safe, hygienic, secure, socially and culturally acceptable, provides privacy and ensures dignity”. The Committee is of the view that the right to sanitation requires full recognition by States parties in compliance with the human rights principles related to non-discrimination, gender equality, participation and accountability.
Geneva, 19 November 2010

Kamis, 23 September 2010

MDGs, Social Protection and Gender

Dear Colleagues

We are pleased to inform you that the new report of the Independent Expert on extreme poverty and human rights is now available. This report is particularly pertinent given the MDG Review Summit currently taking place in New York as it highlights the importance of social protection measures in the Millennium Development Goals agenda. It devotes particular attention to the importance of ensuring that social protection programmes are gender aware, and calls on policy makers to take into account and address the different vulnerabilities of women and men in situations of extreme poverty when designing, implementing and evaluating social protection programmes.

The report is attached in English and Spanish; it is also available in the other official languages of the UN at http://www.un.org/en/ga/third/65/documentslist.shtml.

The Independent Expert will be presenting this to the Third Committee of the General Assembly on 25 October.

Should you have any further questions or want more information on the mandate please contact the Office of the UN High Commissioner for Human Rights.


civilsocietyunit@ohchr.org

Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR)
Palais Wilson
52 rue des Pâquis
CH-1201 Geneva, Switzerland

Minggu, 09 Mei 2010

Pertambangan dan Hak-Hak Ekosob: Persoalan

PEMERINTAH DAERAH DAN ORNOP:
APA YANG HARUS BERUBAH DALAM PERTAMBANGAN EMAS DI POBOYA?

Oleh Arianto Sangaji

Percakapan tentang rencana pertambangan emas di Poboya selama ini terus-menerus berjalan di tempat. Kekhawatiran (yang memang beralasan) lebih banyak berpijak kepada aspek-aspek dampak sosio-ekologis jika kegiatan penambangan akan dilakukan. Keberatan kalangan aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) terutama berkenaan dengan pengrusakan sumber-sumber air dan pencemaran air karena proses penambangan yang selain rakus air, juga menggunakan saat kimia yang membahayakan. Tentu saja dampak negatif itu akan mengenai penduduk, bukan saja di kawasan Poboya dan sekitarnya, tetapi juga masyarakat di Palu secara lebih luas, mengingat kegiatan penambangan ini hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Kotamadya Palu [1]. Tokoh aktivis ligkungan Indonesia, Chalid Muhammad memproyeksikan penambangan di Poboya sebagai malapetaka,[2] sesuai pengalamannya melihat berbagai kegiatan penambangan emas di berbagai belahan dunia.

Kritik Ornop semacam ini memang benar, tetapi bukan tanpa resiko. Pertama, berdasarkan prinsip (corporate social responsibility/CSR) [3], perusahaan-perusaha an sedapatnya akan memikul tanggung jawab dengan menekan dampak-dampak sosio-ekologis itu. Intinya, perusahaan berusaha peduli dengan kepentingan profit bisnisnya dan dalam waktu yang sama juga bersahabat dengan kelompok kepentingan lain, seperti pemerintah, petani dan penduduk asli, serikat buruh, dan kelompok-kelompok lainnya. Bagi perusahaan mencari untung adalah penting, tetapi dalam menjalankan aktivitas bisnis yang sehat, maka sangat penting untuk melindungi kepentingan kelompok lain, baik berhubungan dengan kehidupan sosial ekonominya, maupun kepentingan lingkungannya.

Dalam rangka itu, gagasan tentang penambangan yang bersih (clean mining), yang menghasilkan limbah rendah dan pengurangan pemakaian volume air adalah salah satu solusi yang kemungkinan dipilih oleh perusahaan. Di sisi lain, perusahaan-perusaha an juga dipaksa untuk mengembangkan riset dan pengembangan (research and development) tentang prediksi polusi tambang, pencegahan polusi, dan tehnik penambangan yang bersih. Langkah terakhir ini merupakan jalan keluar terhadap kebanyakan kegiatan riset industri penambangan yang lebih difokuskan kepada peningkatan produksi mineral yang menghasilkan banyak limbah dan rakus air.
Kedua, tangan pemerintah juga bisa dipakai untuk mengendalikan dampak pengrusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan yang kapitalistik. Salah satu di antaranya adalah penggunaan instrumen pajak yang berbasis mekanisme pasar akan menekan dampak-dampak ekologis. Misalnya, pengenaan pajak polusi pada jumlah material limbah dan pemakaian air merupakan insentif yang kuat bagi perusahaan untuk mengurangi limbah-limbah mereka. Sebaliknya pengurangan pajak kepada perusahaan yang mengembangkan proyek-proyek riset atau program-program percontohan untuk mengurangi limbah tambang dan konsumsi air akan menjadi insentif-insentif lain yang positif. Cara lain adalah promosi pengembangan tehnologi pertambangan yang kurang menimbulkan polusi melalui permintaan kepada perusahaan-perusaha an untuk melaporkan ke publik jumlah material racun yang dilepaskan ke dalam lingkungan.

Hasilnya, sudah kita lihat, kritik-kritik ornop di sekitar isyu dampak sosio-ekologis sama sekali tidak menyurutkan perusahaan-perusaha an tambang untuk meneruskan aktivitasnya memberikan ilustrasi bahwa perusahaan memiliki kemampuan beradaptasi, karena substansi kritik ornop kurang bersentuhan, kalau tidak mau dikatakan tidak sama sekali berkaitan dengan soal-soal mendasar ekonomi politik industri pertambangan di Indonesia. Dengan soal ekonomi politik di sini, saya maksudkan sebagai tidak adanya kritik ideologi terhadap industri pertambangan Indonesia yang dibangun di atas faham neoliberalisme.

Mantera ’resiko neoliberal’
Industri pertambangan dianggap memiliki beberapa ciri penting, yakni, padat modal (capital intensive), bersifat jangka panjang, dan seringkali merupakan bisnis yang tidak dapat diprediksikan. Oleh karena itu, investasi di industri ini dipercayai umum sebagai investasi yang kaya dengan ’resiko’. Kepercayaan ini jelas-jelas bertemu dengan kepentingan regim neoliberal, misalnya, gagasan mengenai pentingnya kemudahan arus pergerakan modal dan pandangan bahwa negara merupakan faktor penghambat bagi investasi .[4] Dalam sejarahnya industri pertambangan memang dikuasai oleh mantera ’reskio neoliberal’ (neoliberal risk) yang menganggap bahwa perusahaan-perusaha an pertambangan dan para investornya (perusahaan- perusahaan, bank, para pemegang saham, dan lainnya) menanggung sebuah resiko yang besar dan tidak sepadan dibandingkan dengan pemilik tanah (atau mineral) di mana perusahaan-perusaha an itu beroperasi. Resiko-resiko itu meliputi; (a) resiko politik, yakni ketidak-stabilan suatu kawasan karena ketidak-mampuan managemen pemerintahan para politisi, ancaman terorisme dan sabotase, kemungkinan pembatalan kontrak, atau kemungkinan pengambilan asset; (b) resiko komersial, di mana industri pertambangan mengklaim dirinya sebagai bisnis yang paling penuh resiko secara komersial karena memerlukan waktu yang lama antara investasi dan perolehan keuntungan, dan perubahan-perubahan harga komiditi yang tak terduga dan; (c) resiko geologi, terutama berhubungan dengan lapangan eksplorasi geologi yang penuh ketidak-pastian .[5]
Dengan mantra ini, perusahaan-perusaha an pertambangan menyusun kriteria investasi di mana keputusan untuk melakukan investasi dan eksplorasi ditentukan oleh prinsip-prinsip tertentu. Pertama, pada tahap eksplorasi, perusahaan-perusaha an mempertimbangkan aspek potensi geologi, stabilitas politik, keamanan dalam penguasaan (security of tenure), hukum pertambangan, stabilitas hukum pertambangan, stabilitas perpajakan/tingkat pajak, dan karakteristik dari deposit. Kedua, keputusan melakukan investasi penambangan didasarkan pada potensi keuntungan, stabilitas politik, perolehan keuntungan, tingkat pajak/stabilitas perpajakan, biaya pasar, dan stabilitas hukum pertambangan.[6]

Sebelum gonjang-ganjing mengenai neoliberalisme dewasa ini, sebenarnya industri pertambangan Indonesia adalah contoh paling pas bagaimana faham ini dipraktekkan. Itu bisa dilihat dari sistem kontrak karya (KK) yang diberlakukan sejak awal Orde Baru. Di bawah jaminan kepastikan hukum berdasarkan KK, perusahaan-perusaha an transnasional, seperti Freeport, Inco, Newmont tetap leluasa mengeruk isi perut bumi Indonesia, kendati kritik dan cercaan terus-menerus menghujani perusahaan-perusaha an itu.

Sebuah survey di tahun 1995 yang pernah dimuat di Asian Mining Review, dan tampaknya masih relevan untuk saat ini, menetapkan secara keseluruhan Indonesia sebagai Negara tujuan pertambangan paling dipilih, dan yang terbaik dilihat dari sisi hukum pertambangan, pelayanan pemerintah, dan resiko politik, dibandingkan dengan India, Malaysia, Thailand, China, Vietnam, Filipina, dan Laos. Kemampuan pemerintah memberikan stabilitas politik dan lingkungan ekonomi yang mendukung merupakan salah satu keunggulan Indonesia, termasuk sistem kontrak karya (KK) yang unik dan menguntungkan.

Akibat rezim neoliberal ini, maka sumbangan industri ini terhadap perekonomian nasional tergolong kecil. Laporan Pricewaterhousecoop ers,[7] misalnya mencatat kontribusi sektor ini terhadap GDP tahun 2006 sebesar 3 persen atau pada angka Rp 56 trilyun. Di antaranya sumbangan itu meliputi, kompensasi kepada buruh Indonesia, pembayaran kepada suplier di dalam negeri, penerimaan pemerintah, dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham berkebangsaan Indonesia, dan pembayaran kepada perusahaan-perusaha an dan bank-bank di Indonesia. Yang terbesar di antaranya adalah penerimaan pemerintah, yakni sebesar Rp. 31 trilyun.

Sebenarnya penerimaan pemerintah dari sektor pertambangan dapat ditingkatkan jika pemerintah memikirkan kepemilikan saham di dalam perusahaan pertambangan, sehingga dengan demikian pemerintah berkesempatan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. Sayangnya, dewasa ini peluang itu tertutup dan bahkan keuntungan dibawa lari ke luar bumi Indonesia, karena industri pertambangan dikuasai perusahaan-perusahaan transnasional. Di bawah regim pertambangan neoliberal, fungsi pemerintah tidak lebih dari pelindung bagi mengalirnya pengerukan keuntungan itu.

Oleh karena itu diperlukan sikap politik yang berbeda sebagai jawaban terhadap merajalelanya praktik neoliberalisme di dalam industri pertambangan Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pemerintah harus ambil bagian dalam industri ini, bukan malah semakin menjauh, seperti yang didiktekan faham neoliberal. Venezuela barangkali bisa dijadikan sebagai model perbandingan menyusul rencana pemerintah di sana melakukan nasionalisasi terhadap projek pertambangan emas raksasa Las Cristinas yang selama ini dioperasikan oleh Crystallex International Corp., sebuah perusahaan pertambangan asal Kanada. Menteri pertambangan negeri itu Rodolfo Sanz sudah menjanjikan bahwa, tahun depan, salah satu pertambangan dengan deposit emas terbesar di Amerika Latin ini akan dioperasikan di bawah kontrol pemerintah [8]

Pertambangan Poboya dan perubahan mindset
Awalnya, rencana penambangan emas di Poboya dilakukan salah satu raksasa dalam bisnis pertambangan dunia, Rio Tinto. Perusahaan ini memperoleh KK generasi VI tahun 1997 melalui anak perusahaannya PT Citra Palu Mineral (CPM), dengan mengantongi 90 persen saham. Di tengah-tengah oposisi yang kuat dari masyarakat, ornop, dan pemerintah daerah Sulawesi Tengah, saham CPM beralih dari Rio Tinto ke Newcrest Mining Ltd, perusahaan raksasa tambang lain asal Australia. Tahun 2005, PT Bumi Resources membeli saham CPM sebesar 99,99 persen dari Newcrest Mining Ltd. Mulai melakukan pengeboran sejak 1998, KK CPM sendiri terdiri atas 6 blok pada wilayah seluas 95,496 hektar, di mana Blok 1 Poboya sudah memasuki tahap ekplorasi paling maju, dengan perkiraan terdapat potensi 2 juta ons emas.[9]

Rencana penambangan emas Poboya kembali hadir beberapa tahun terakhir. Pemerintah daerah sendiri tampaknya sedikit berubah sikap menyusul pergantian gubernur Sulawesi Tengah dari Aminuddin Ponulele ke Banjela Paliuju. Rencana investasi penambangan emas di Poboya oleh PT Bumi Resources Tbk. seperti telah menghipnotis sebagian pejabat di Sulawesi Tengah. Bayangan kandungan 2 juta ons emas membuat sebagian pejabat pemerintah mulai tergiur dengan peluang sumbangan ekonomi kepada daerah jika ada kegiatan penambangan. Bagi Pemda, penambangan ini seperti ’durian runtuh’ bagi sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, penambangan Poboya merupakan keniscayaan.

Padahal, dengan melihat komposisi kepemilikan sahamnya, dapat dipastikan bahwa melalui PT Bumi Resources Tbk, keuntungan yang besar dari kekayaan mineral di Poboya akan dibawa keluar dari daerah ini. Ini dengan jelas kalau melihat para pemegang saham PT Bumi Resources Tbk. adalah PT Bakrie and Brothers Tbk (7.44), The Bank of New York Mellon S/A Bakrie and Brothers (3.59), the Bank of New York Mellon S/A Helena Holdings (3.00), JP Morgan Chase Bank NA RE Norbax Inc (2.73), Bank of New York Vacheron Overseas Ltd (2.17), dan Publik (81,08).[10] Yang tersisa di Sulawesi Tengah paling utama adalah upah buruh, sejumlah komponen jenis pajak, program-program filantropis melalui pengembangan masyarakat (community development).
Dari komposisi pemegang saham, PT Bumi Resources Tbk, dengan demikian, juga merupakan perusahaan pertambangan yang agak unik dalam industri pertambangan di Indonesia. Karena, dibanding pemain di sektor pertambangan dominan di Indonesia, seperti PT Freeport Indonesia (FI) di mana Freeport McMoran menguasai 90,64 persen saham [11] dan PT Inco yang saham mayoritasnya (60,8 persen) dikuasai oleh Vale Inco Ltd. dan 20,1 persen dikuasai oleh Sumitomo Metal Mining Co.Ltd.[12], maka dalam kasus PT Bumi Resources Tbk. saham mayoritasnya diperdagangkan di lantai bursa. Dengan kata lain saham mayoritas PT Bumi Resources adalah saham portofolio yang merupakan investasi jangka pendek, di mana pergerakan keluar masuk modal sangat cepat. Dengan komposisi kepemilikan saham seperti itu kepastian investasi PT Bumi Resources Tbk. sangat bergantung kepada dinamika pasar modal. Itu dengan jelas terlihat ketika krisis keuangan di US sejak Oktober 2008 telah ikut merontohkan harga saham perusahaan sampai dihentikan perdagangannya di Bursa Efek Jakarta (BEJ).[13]

Dengan latar belakang tersebut, di tengah-tengah kontroversi mengenai penambangan emas Poboya, yang di satu sisi menempatkan ornop sebagai penentang dengan dalih kerusakan lingkungan, dan pemerintah yang berfikir tentang keuntungan ekonomi, tampaknya perlu dicarikan jalan tengah melalui perubahan mindset yang mendasar. Baik pemerintah maupun ornop yang selama ini tidak terlalu peduli dengan isyu-isyu kepemilikan, sebaiknya mulai bukan saja belajar tentang urgensi kepemilikan dalam industri pertambangan, tetapi secara politik dan ekonomi mengambil posisi yang tegas dengan gagasan itu. Sudah saatnya, pemerintah merubah posisi politiknya sekedar sebagai agen yang melindungi kepentingan perusahaan dan menarik pajak (seadanya) dari industri pertambangan, dan beralih menjadi pemain dalam industri ini. Dengan kata lain, pemerintah sudah saatnya mengakhiri posisi berdirinya sebagai agen yang memberi jalan bagi imperialisme melalui industri pertambangan.

Dalam kerangka berfikir semacam ini, pemerintah daerah Sulawesi Tengah dan Kota Palu, sudah saatnya bertindak lebih jauh untuk tidak menggadaikan kekayaan emas Poboya jatuh ke tangan perusahaan tambang swasta dalam hubungan bisnis yang rendah kentungannya bagi pemerintah. Landasan ekonomi dan politik yang menjadi tempat berpijak adalah jika penambangan emas akan dilakukan di Poboya, maka manfaat terbesar harus jatuh ke tangan pemerintah daerah. Gagasan tentang hak-hak ekslusif pemerintah (daerah) seperti kepemilikan saham dalam jumlah yang signifikan, perpanjangan dan pemutusan kontrak dengan swasta, dan regulasi yang restriktif berkenaan dengan aspek lingkungan dan sosial adalah salah satu solusi. Tanpa itu, kegiatan penambangan sebaiknya ditunda atau tidak dilakukan sama sekali. Memang Undang Undang Pertambangan produk Orde Baru bisa dilihat sebagai hambatan utama, atau bahkan juga berbagai aturan tentang otonomi daerah, tetapi Gubernur Sulawesi Tengah dan Walikota Palu harus menyadari bahwa secara politik mereka adalah pemimpin yang memperoleh legitimasi melalui pemilihan umum langsung di tingkat lokal. Dengan dalih itu, yang diperlukan adalah keberanian politik keduanya untuk melahirkan kebijakan- kebijakan populis tentang penambangan Poboya.

Sebaliknya, Ornop sudah saatnya merubah paradigma lama ’advokasi’ yang bertumpu pada mantera ’good governance’, yang menekankan aneka kritik mengenai penggusuran penduduk dan dampak-dampak sosio-ekologis, tetapi meninggalkan isyu-isyu yang lebih politis. Ornop harus membongkar paradigma advokasi yang sangat bertumpu di atas ideologi ini, yang dengan gesit dikampanyekan lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor dari negeri-negeri kapitalis, dan memperluasnya dengan isyu politik yang lebih mendasar, yakni politik kepemilikan. Dalam kasus Poboya, posisi Ornop tidak bisa lagi bersandar kepada pengetahuan tehnis mengenai dampak sosial dan lingkungan yang menjadi dasar kritiknya selama ini, tapi harus merambah ke ranah politik, dengan melihat bahwa untung rugi aktifitas pertambangan di sana sangat ditentukan oleh siapa yang paling punya kuasa dalam mengontrol kegiatan pertambangan. Dalam posisi ini, Ornop mesti melirik pemerintah (termasuk pemerintah daerah) sebagai pusat kuasa di bidang politik dan ekonomi, dan tidak termakan dengan propaganda neoliberal yang memaksakan peran pemerintah yang rendah dan minim.


Catatan kutipan
________________________________________
[1] Anonimous (N.D.) Tambang Bakrie mengancam sumber air di Sulawesi Tengah. [online] http://www.jatam. org/content/ view/551/ 30/ [akses:15-12- 08].
[2] Anonimous (2008) Memotret Untung Rugi Eksploitasi Tambang Emas Poboya: Gubernur dan Walikota Sebaiknya Menolak Tambang Poboya, Radar Sulteng, 17 November.
[3] Terdapat banyak definisi, tetapi sekurangnya terdapat 4 (empat) hal pokok mengenai CSR: (1) merawat hubungan baik dengan komunitas melalui kegiatan-kegiatan kedermawanan dan dukungan keuangan; (2) menyumbang kepada usaha-usaha yang bersifat kemanusiaan seperti issu persamaan di tempat kerja; (3) pemenuhan kewajiban lingkungan yang berdampak kepada pencemaran udara dan air; (4) mengutamakan konsumen dengan pemberian harga yang fair dan issue tentang produk yang aman. Myrna Wulfson (2001) The Ethics of Corporate Social Responsibility and Philanthropic Ventures, Journal of Business Ethics 29:135-145, p.136-7.
[4] Jody Emel & Matthew T. Huber (2008) A Risky Bussiness: Mining, rent and the neoliberalization of “risk”, Geoforum (39): 1394.
[5] ibid 1397
[6] Denise Leith (2003) the Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai. P 38-40.
[7] Pricewaterhousecoop ers (2008) Mine Indonesia 2007: Review of trends in Indonesian mining industry, Jakarta.
[8] Frank Jack Daniel (2008) Venezuela says to take over Crystallex gold project, [online] http://www.reuters. com/article/ marketsNews/ idUSN05311304200 81105. [akses 16-12-2008]
[9] PT. Bumi Resources Tbk. (2008) Information to shareholders, Jakarta: PT. Bumi Resources, p. 5.
[10] ibid
[11] Freeport McMoran Copper&Gold Inc. (2008) A World of Opportunities (2007 Annual Report). [Online] http://www.fcx. com/ir/AR/ 2007/FCX_ AR_2007.pdf , [akses 16-12-08]. p.15.
[12] PT International Nikel Indonesia Tbk. (2008) 2007 Annual Report. [Online] http://pt-inco. co.id/pdf/ PT_Inco_2007_ Annua_%20Report. pdf. [akses 16-12-08]. p.4.
[13] Berliana Elisabeth S. (2008) Suspensi Saham Bumi Mulai Dicabut Pagi ini, Bisnis Indonesia, 11 November.

Jumat, 26 Maret 2010

Enforcement of Judgments on Economic, Social and Cultural Rights: Towards A Theory and Practice

Enforcement of Judgments on Economic, Social and Cultural Rights: Towards A Theory and Practice

Concept Note for Symposium and Book (15 December 2009)

ESCR-Net Adjudication Working Group

1. Background

In the last two decades, there has been a remarkable rise in the numbers of economic, social and cultural rights (ESC rights) decisions issued by judicial bodies. Judgments can be found in all regions, all types of legal systems and covering all aspects of the rights. This trend is most pronounced in Latin America, South Asia, Eastern Europe, South Africa and less so in sub-Saharan Africa, the Middle East and South-East Asia while the situation is varied across and within Western countries (Langford, 2008; Coomans, 2006; Rossi and Filippini, 2009). The phenomenon is only likely to accelerate with a growing use of litigation strategies amongst civil society, the continued constitutionalisation of ESC rights and the recent adoption of the Optional Protocol to the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, which is also likely to prompt domestic courts to take the topic more seriously in order to avoid cases being appealed internationally.

However, in many jurisdictions there are some or many judgments that remain unimplemented, although the extent to which there is a systematic or isolated problem appears to differ. For example, Hossain and Byrne (2008:143) note that South Asian cases have provided a rich and varied jurisprudence but that “Many significant judicial decisions are not implemented fully or even in part. Advances in jurisprudence urgently need to be matched by action on the ground to ensure compliance of all concerned authorities with the judgments and orders of national courts, to ensure effective enforcement and enjoyment of economic and social rights.” In South Africa and Latin America, compliance levels have been comparatively higher but practitioners have faced myriad obstacles and delays in the implementation phase. In addition, there have been debates as to the level of implementation of some cases such as the Grootboom case from South Africa (Cf. Liebenberg, 2008 and Berger 2008). In Europe there have been struggles to implement some decisions concerning Roma minorities and migrants (MSF, COHRE and ERRC, 2007). The deficient implementation of decisions has also been pointed out as a serious problem in the Inter-American and African System of Human Rights (CEJIL, 2002; Wachira and Ayinla, 2006). The lack of implementation affects directly and most prominently the victims of the case but it also challenges the relevance and impact of human rights law as a useful framework for ensuring economic and social justice.

A second challenge is that some of the judgments are now yielding more complex remedies which have been expected when positive obligations of ESC rights are involved. In Latin America, recent assessments by both practitioners and scholars have identified a growing trend towards court rulings establishing complex remedies to address structural violations of human rights, from the situation of internally displaced people in Colombia (Rodríguez-Garavito and Rodríguez Franco, 2009) to that of prisoners in overcrowded jails in Argentina (CELS, 2009; Abramovich, 2009; Fairstein, Kletzel and García Rey, 2009; Maurino and Nino, 2009). Complex remedies are not necessarily a new phenomenon in human rights or law generally (Roach, 2008). In the US there have been many lessons learnt in implementing groundbreaking decisions on civil rights but also racial segregation and financing of education (Albisa and Schultz, 2008).

In the growing literature on judicialisation of ESC rights the research has been largely dominated by studies that have primarily taken up the theoretical question of how to justify the judicial application of ESC rights in terms of democratic political theory (Vierdag, 1975; Fabre, 2000; Dennis and Stewart, 2005; Bilchitz, 2008) or the legal question of systematizing, refining, critiquing and challenging legal standards and doctrines on ESC rights in order to promote their application by national and international courts and governance agencies (Gargarella, Roux and Domingo, 2006; Langford, 2008; Abramovich and Courtis, 2001; Dugard and Roux, 2006; Young, 2008, ICJ, 2008). While these fields are themselves still in development, the least advanced area has been studies on the implementation and impact (both positive and negative) of judgments, although the field is quite advanced in the United States (Horowitz, 1977; McCann, 1994; Rosenberg, 1991) and some comparative studies have been made of impact in the field of ESC rights (Gauri and Brinks, 2008, Langford, 2003 and partly Langford, 2008), some country studies (e.g. Heywood, 2005; Abramovich and Pautassi, 2009) and civil rights in Europe (see Basak, 2008). Even less studied are the reasons for implementation or non-implementation of particular decisions, how impact is maximized and what strategies have been most effective in this regard.

Thus, while the contributions on democratic theory and law have made considerable progress towards the conceptual clarification and actual enforcement of ESC rights litigation, the emphasis on the democratic legitimacy and production of ESCR rulings has tended to direct attention away from an equally important matter: the implementation of such rulings. As Gauri and Brinks (2008: 20) conclude, “this oversight may stem from theoretical or practical reasons –either because the last step [postdecision implementation] appears as an iteration of the first [i.e., judicialization of an ESCR case], or because it poses daunting research difficulties … or both— but it is a crucial determinant of the extent of legalization in a given policy area”. As a result, both activists and scholars have devoted relatively little time to discussing pressing practical questions that are fundamental to the realization of ESCR. What happens after a court issues a ruling that is favorable to the cause of ESCR? How are its orders implemented or ignored by the government and other state and non-state actors? Which are the factors that have allowed for implementation and those that have prevented it or hindered it? Ultimately, do court interventions in ESC rights cases make a difference to the cause of mitigating inequality and social injustice?

As courts in different parts of the world have become more receptive to ESCR litigation and unimplemented or partially implemented judgments have proliferated, these questions have become central to the agendas of NGOs, social movements, judges, public officials and other social and political actors interested in promoting ESCR. This became evident, for instance, in discussions among members of ESCR-Net’s Working Group on Adjudication, on the occasion of the ESCR-Net 2009 International Strategy Meeting on ESC rights in Nairobi (Kenya). Indeed, the Working Group selected the issue of implementation of judgments as one of its core strategic areas of work for the next few years. From the discussions at the meeting, the need of developing a transnational research and advocacy agenda on the topic in order to ensure that the right obstacles and right type of strategies are identified became apparent, particularly given the legal and political complexities and differences across systems. Given the embryonic nature of the problem, it was also emphasized the need for sharing and learning from the developments in different jurisdictions as well as from the strategies and actions designed to address the situation. In order to fulfill this mandate and shed new light on this analytical and practical blind spot, ESCR-Net, Dejusticia (Center for Law, Justice and Society, Colombia) and the Norwegian Centre on Human Rights will convene a two-day workshop in Bogota (May 2010) that will bring together human rights lawyers, activists, scholars and constitutional judges from different parts of the world. The workshop, hosted by Dejusticia and funded by the Ford Foundation, will combine dialogue on conceptual and empirical issues with discussion on joint strategies for promoting the implementation of ESCR rights.

To that end, panels will revolve around a series of papers that will be commissioned to practitioners and analysts from different regions. To foster cross-fertilization among regions and types of expertise, discussants will be selected for each panel to comment on papers and provoke debate among participants. Papers will be revised to incorporate the debate at the Bogota workshop and compiled by the organizers into a volume to be published (in Spanish and English) and widely disseminated among human rights circles around the world. For the English version, the book editors will approach Cambridge University Press and the Spanish version will be published by Dejusticia. In order to foster structured comparisons and a fruitful conversation, this document further lays out the guidelines for paper authors, i.e., the research questions, the variables of interest, methodological approaches, the time line and formatting details. A draft Programme for the Bogota meeting is attached as an annex.

Research questions

Since the workshop and the publication pursue both analytical and strategic goals, they are guided by two questions, one explanatory and one normative in nature.

1. What explains the level of implementation of a given ruling on ESCR?

The central outcome to be explained in the papers is the reasons for the degree of implementation of a court decision (or set of decisions) regarding ESCR. This will require first a yardstick for measuring the level of implementation which is the set of orders issued by the court itself. Were they implemented fully, partially, or not at all? It will then require an assessment of the different variables (see below) that may explain why a decision was implemented or not.

The nature of implementation will vary considerably depending on the type of the legal order. In some cases, the order may only be the ordering of compensation and thus compliance may be simple in form, although this does not necessarily mean compliance naturally follows. If the orders are more involved, e.g. structural reform of a service or the roll-out of a new program, then implementation is much more involved. Thus, the nature of the order, including if it entails negative or positive obligations should be clearly identified and reflection should be made on whether the complexity of the order makes any difference.

Equally, it is important to note that implementation is a different concept than impact. Impact means the total influence or effect of a decision which may be more than its actual implementation or not. It may be greater than mere implementation of the order (e.g. through additional indirect effects) or it may be overall negative due to unintended consequences. Although the focus of the papers and the discussion will be the execution of court orders (i.e., the direct, instrumental effects of ESCR rulings), authors and discussants should also consider other types of effects (including unanticipated as well as counterproductive effects of litigation). In other words, although the emphasis will be on the implementation of rulings, some attention will be paid to their overall impact.

Although there is a wide range of variables that affect the level of implementation of a given ruling, to allow for a focused and comparative discussion of country case studies, we would like papers to consider the following three sets of explanatory variables:

1.1.Legal variables: this set of factors relate to rules and practices of the applicable legal system, such as:

Ø Rules regarding access to courts and legal processes to claim the recognition of social rights (standing, class actions or other types of collective actions, level of institutionalization of collective actions, etc.)

Ø Rules and practices regarding remedies (e.g., types of remedies available and used, the strength of the remedial order (e.g. ‘should’ or ‘must’, consequences if not followed), existence of complex enforcement, structural remedies, procedures for the design of remedies and execution of court decisions

Ø Rules and practices regarding court’s supervisory jurisdiction (e.g., court’s continued competence to follow-up on ruling implementation)

Ø Rules and practices regarding follow-up mechanisms (e.g., follow-up hearings, submission of periodic reports by government agencies and civil society organizations, etc.)

Ø Rules and practice regarding recognition of ESC rights in national constitution and laws

Ø Rules and practice regarding domestic status of international law and incorporation of international ESCR standards into the national legal system and regarding application of international and comparative law by national courts

Ø Whether the case is individual or collective/structural in nature and involves positive or negative obligations

Ø Whether the fact of being a case on economic and social right (and not a more traditional civil and political rights case) could have placed additional hurdles for enforcement

Ø Common law vs. civil law systems

1.2.Political variables: this set of factors relate to the characteristics of the state apparatus and the political system, such as:

Ø Capacity of the state apparatus to implement ESC rights rulings

Ø Type of political system (democracy v quasi/transitional democracy, authoritarian, unitary vs. federal, etc.)

Ø Institutional arrangements ruling relations between the judiciary, on the one hand, and the executive and the legislature, on the other.

Ø Characteristics of judges

Ø Whether the case was against the executive, local authority or non-state actor or affected international actors

Ø Whether the case involved different types of public authority and different jurisdictions (federal, provincial and/or municipal)

Ø Extent of budgetary and economic resources involved in the solution of the issue

Ø Whether the case was pro or anti pro-majoritarian in terms of public opinion

Ø Other broader ESC characteristics of country such as level of social inequality, religiousity etc

1.3. Civil society variables: this final set of factors relate to patterns of mobilization of the legal system by social movements, NGOs and other civil society actors. Among such patterns are:

Ø Structure and level of cohesion of civil society coalitions litigating ESC rights cases

Ø Trajectory of legal mobilization (e.g, civil society actors’ tendency to resort to courts as opposed to the executive or the legislature in order to advance ESCR)

Ø Movements’ and NGOs’ repertoire of contention (direct action, litigation, international human advocacy, etc)

Ø Transnational collaboration with similar civil society actors

Ø Characteristics of litigants of the case (organization or individual lawyer, level of prestige and trajectory of organization or lawyer, coalition of organizations, partnership bewteen affected persons and/or social movements and NGOS/lawyers, etc)

Ø Level of participation of affected people/social movements in the case and level of articulation between legal and social and political strategies

Ø Access to donor funding

This list of potential variables is long and authors are not necessarily expected to cover all but should be aware of the possible range of explanations. Authors might also seek to test the role of a particular variable to see if it holds over a selection of cases.

2. Based on the answer to the above question, what legal and political arrangements and strategies have been able and are likely to promote the implementation and deepen the impact of favorable rulings on ESC rights?

This normative question seeks to draw lessons from the empirical studies for the practical task of designing and pursuing collaborative, international strategies to promote implementation of ESCR rulings. Obviously the nature of the causes of enforcement in a particular context or generally will determine the types of strategies that may be relevant. It may be helpful for authors to also identify strategies that fit different situations (for example, where the issue is one of institutional capacity as opposed to political will) or whether different types of strategies (coercive, incentives, dialogical/persuasive, ensuring overlapping interests with elites, lobby for new legal frameworks or monitoring and enforcement institutions) may be more conducive to enforcement (See, for example, Chayes and Chayes, 1993; Roach and Budlender, 2005, Goldsmith and Posner, 2005).

Methodologies

As can be readily seen, the research question calls for empirical research on the post-decision stage, including interviews with key actors of the case, analysis of quantitative data on implementation (when available), and other qualitative and quantitative techniques. Given the focus of the workshop and the publication, all the papers will be based on interdisciplinary research combining legal analysis with empirical work. Papers and methodologies will fall within three types:

· National case studies: comparative, mostly qualitative and detailed analyses of 2-4 key cases on ESC rights decided by national courts, showing variation on the level of implementation and variables of interest.

· Quantitative national surveys of a large number of implementation of rulings on a given right (e.g., housing, health, education) or different rights

· Regional case studies: comparative, mostly qualitative and detailed analyses of 2-4 key cases on ESCR decided by regional human rights courts (e.g., the Inter-American Court of Human Rights and the European Court of Human Rights)

In choice of the cases, it is important to examine to what extent a case may be atypical and thus whether the conclusions may be generalisable for a whole country/region or judgments on a particular right or sets of rights.

Editorial guidelines

Manuscript length: 10,000-12,000 words

Languages: English or Spanish

Deadlines: Abstract: January 30, 2010.

Paper (shorter version): April 15, 2010

Citation: Social Science Method for References as per this note.

Font: Times New Roman, 1.5 spaced paragraph

Headings: To be bolded and numbered 1, 2, 3

Sub-headings: To be bolded and italicized as 1.1, 1.2, 1.3 etc

Bibliography

Abramovich, Víctor and Courtis, Christian, Los derechos sociales como derechos exigibles, Trotta, Buenos Aires, 2001.

Abramovich, Víctor y Laura Pautassi (comp.) (2009), La revisión judicial de las políticas sociales, Estudio de casos, Del Puerto, Buenos Aires. [The judicial revision of social policies. A cases’ study].

Abramovich, Víctor (2009), ‘El rol de la justicia en la articulación de políticas y derechos sociales’, [The role of justice in the articulation of policies and rights] in Abramovich, Víctor and Laura Pautassi (comp.), in La revisión judicial de las políticas sociales, Estudio de casos, Del Puerto, Buenos Aires, pp. 1-89.

Albisa, Cathy and Jessica Schultz, ‘The Untied States: A Ragged Patchwork’, in Social Rights Jurispruence, Langford, Malcolm (ed.) Social Rights Jurisprudence; Emerging Trends in International and Comparative Law (Cambridge: Cambridge University Press), pp. 230-249.

Byrne, I. and S. Hossain (2008), South Asia: Economic and Social Rights Case Law of Bangladesh, Nepal, Pakistan and Sri Lanka’, in Langford, Malcolm (ed.) Social Rights Jurisprudence; Emerging Trends in International and Comparative Law (Cambridge: Cambridge University Press), pp. 125-143.

CEJIL (2003), “Unkept Promises: The implementation of the decisions of the Commission and the Court,” Gazette No. 10, available at: http://www.cejil.org/gacetas.cfm?id=30.

CELS (2009), La lucha por el derecho [The Struggle over the Law], Buenos Aires, Siglo XXI.

Chayes, Abraham and Antonia Chayes (1993), The New Sovereignty (Cambridge: Harvard University Press).

Coomans, Fons (2006) (ed.), Justiciability of Economic and Social Rights: Experiences from Domestic Systems (Antwerpen: Intersentia and Maastrict Centre for Human Rights)

Dugard, Jackie and Theunis Roux (2006), ‘The record of the South African Constitutional Court in providing an institutional voice for the poor: 1995-2004’, in R Gargarella, P Domingo and T Roux (eds) Courts and Social Transformation in New Democracies: An Institutional Voice for the Poor? (2006) 109-111.

Gauri, Varun and Daniel Brinks (eds.) (2008), Courting Social Justice: Judicial Enforcement of Social and Economic Rights in the Developing World (Cambridge: Cambridge University Press).

Gargarella, Roberto, Theunis Roux and Pilar Domingo (eds.) (2006), Courts and Social Transformation in New Democracies: An Institutional Voice for the Poor?.

Heywood, Mark (2005): “Shaping, Making, and Breaking the Law in the Campaign for a National HIV/AIDS Treatment Plan.” In Democratising Development: The Politics of Socio-Economic Rights in South Africa, ed. P. Jones and K. Stokke, 181–212 (Leiden: Martinus Nijhoff).

Rodríguez-Garavito, César and Diana Rodríguez Franco, “Un giro en los estudios sobre derechos sociales: el impacto de los fallos y el caso del desplazamiento forzado en Colombia” [A Turning Point in Studies on Social Rights: The Impact of Judicial Rulings and the Case of Internal Displacement in Colombia”] in Arcidiácono, P., N. Espejo and C. Rodríguez-Garavito, Derechos sociales: Justicia, política y economía en América Latina. Bogotá: Siglo del Hombre, Uniandes, CELS and Diego Portales University, 2009.

Fairstein, Carolina, Kletzel, Gabriela y García Rey, Paola, “En busca de un remedio judicial efectivo: Nuevos desafíos para la justiciabilidad de los derechos sociales” [In the search of an effective judicial remedy: new challenges for the justiciability of social rights], in Arcidiácono, P., N. Espejo and C. Rodríguez-Garavito, Derechos sociales: Justicia, política y economía en América Latina. Bogotá: Siglo del Hombre, Uniandes, CELS and Diego Portales University, 2009.

Gloppen, Siri and F. E. Kanyongolo, “Courts and the Poor in Malawi: Economic marginalization, vulnerability, and the law”, Int J Constitutional Law 2007 5:258-293.

Goldsmith, Jack and Eric Posner (2005), The Limits of Internaitonal Law (New York: Oxford University Press.

Horowitz, Donald (1977) The Courts and Social Policy (The Brookings Institution, 1977).

MSF, COHRE and ERRC (2006), 2006, available at http://www.cohre.org/store/attachments/Slovakia%20Forced%20Evictions%20%202006.pdf

ICJ (2008), Courts and the Legal Enforcement of Economic, Social and Cultural Rights: Comparative Experiences of Justiciability, Geneva: International Commission of Jurists.

Langford, Malcolm (2008), Social Rights Jurisprudence; Emerging Trends in International and Comparative Law, Cambridge: Cambridge University Press.

Langford, Malcolm (2003) Litigating Economic, Social and Cultural Rights: Achievements, Challenges and Strategies (Geneva: Centre on Housing Rights & Evictions)

Maurino, Gustavo and Nino, Ezequiel (2009), “Judicialización de políticas públicas de contenido social. Un examen a partir de casos tramitados en la Ciudad de Buenos Aires” [Judicialization of social policies. An analysis based on cases from the City of Buenos Aires], in La revisión judicial de las políticas sociales, Estudio de casos, Del Puerto, Buenos Aires, 2009, pp. 173-206.

Mbazira, Christopher (2008), You are the ‘weakest link’ in realising socio-economic rights: Goodbye – Strategies for effective implementation of court orders in South Africa, Research Series 3, Socio-Economic Right Project Community Law Centre, University of the Western Cape.

Roach, Kent (2008), ‘The challenges of crafting remedies for violations of socio-economic rights’, Malcolm Langford (2008) Social Rights Jurisprudence; Emerging Trends in International and Comparative Law (Cambridge: Cambridge University Press), pp. 46-58.

Roach, Kent and Geoff Budlender (2005), “Mandatory Relief and Supervisory Jurisdiction: When is it Appropriate, Just and Equitable”, South African Law Journal, Vol. 5, pp. 325-351.

Rossi, Julieta, Filippini, Leonardo, “El derecho internacional en la justiciabilidad de los derechos sociales en Latinoamérica” in Arcidiácono, P., N. Espejo and C. Rodríguez-Garavito, Derechos sociales: Justicia, política y economía en América Latina. Bogotá: Siglo del Hombre, Uniandes, CELS and Diego Portales University, 2009.

Wachira and Ayinla (2006), ‘Twenty years of elusive enforcement of the recommendations of the African Commission on Human and Peoples’ Rights: A possible remedy’, African human Rights Law Journal, Vol. 6 No. 2 (2006) available at: http://www.chr.up.ac.za/centre_publications/ahrlj/journals/ahrlj_vol06_no2_2006.pdf.

Wilson, Bruce M. (2009), “Rights Revolutions in Unlikely Places: Costa Rica and Colombia.” Journal of Politics in Latin America, Vol. 1(2), pp. 59-85.