Kamis, 24 Februari 2011

Pendekatan Berbasis Hak untuk Pembangunan Perdesaan Terpadu



Pendekatan Berbasis Hak untuk Pembangunan Perdesaan Terpadu

Pembangunan Pedesaan Terpadu adalah mengenai penyediaan kesempatan pada penduduk desa untuk memperbaiki kehidupan mereka yaitu dengan bergerak dari produksi untuk nafkah belaka menuju ke produksi untuk komersil dengan cara yang berkelanjutan. Pengembangan Perdesaan Terpadu memerlukan masukan pengetahuan, dukungan kebijakan pemerintah, pelayanan dan pembangunan prasarana, akses financial, serta komitmen untuk bekerja sama baik di tingkat lokal maupun internasional. Sementara itu, dalam kegiatan yang sama, Northern Territory Chief Minister menjelaskan bahwa, Pengembangan Perdesaan Terpadu merupakan integrasi pengembangan kegiatan usaha pedesaan dan membangun pengelolaan sumber daya alam pada pengetahuan yang kritis serta pengembangan kapasitas. Dalam konteks ini, Profesor Saragih menunjuk ‘sistem agribisnis’ sebagai contoh Pengembangan Perdesaan Terpadu di mana dilakukan pengintegrasian antara produksi pertanian dengan pemasok masukan dari hulu, pemroses dari hilir dan dari segala sektor serta pelayanan yang mendukung usaha tersebut termasuk pelayanan prasarana pemerintah, perbankan dan pelayanan financial.
Pemahaman tersebut di atas diungkap dalam Lokakarya Internasional “Pembangunan Perdesaan Terpadu Di Nusa Tenggara Timur” (2006). Dalam lokakarya itu juga diungkap kritik dan masalah, bahwa praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu di NTT telah gagal dalam memperbaiki kehidupan masyarakat pedesaan karena mereka sentralistis, teknokratis, dan fokusnya yang sempit dalam meningkatkan produksi pertanian. Kegagalan tersebut dinyatakan dalam fakta: masih meluaskan kemiskinan di pedesaan NTT, praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu tidak menghiraukan masalah pentingnya tindakan berkelanjutan, konteks lokal, pembangunan kapasitas lokal, dan partisipasi masyarakat.
Pembangunan Perdesaan Terpadu Berbasis Agribisnis. Pendekatan agrisbisnis di sini menegaskan fokus pembangunan perdesaan sebagai pembangunan pertanian, menambah nilai kepada hasilnya dan memberi orientasi pasar. Suatu sistim agribisnis terdiri dari empat subsistem, yaitu: (1) subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), (2) subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness), (3) subsistem agribisnis hilir (downstream agribusiness), dan (4) subsistem jasa layanan pendukung agribisnis (supporting institution).
Subsistem agribisnis hulu mencakup semua kegiatan untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas. Dengan demikian, di dalamnya termasuk kegiatan pabrik pupuk, usaha pengadaan bibit unggul, baik untuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, ternak maupun ikan; pabrik pakan untuk ternak dan ikan; pabrik pestisida; serta kegiatan perdagangannya.
Subsistem agribisnis usahatani merupakan kegiatan yang selama ini dikenal sebagai kegiatan usahatani, yaitu kegiatan di tingkat petani, pekebun, peternak dan nelayan, serta dalam arti khusus, termasuk pula kegiatan perhutanan; yang berupaya mengelola input-input (lahan, tenaga kerja, modal teknologi dan manajemen ) untuk menghasilkan produk pertanian.
Subsistem agribisnis hilir, sering pula disebut sebagai kegiatan agroindustri, adalah kegiatan industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku. Kegiatan pabrik minyak kelapa sawit, industri pengalengan ikan, pabrik tepung tapioka dan banyak kegiatan lain termasuk dalam kelompok subsistem ini. Subsistem perdagangan hasil pertanian atau hasil olahannya merupakan kegiatan terakhir untuk menyampaikan output sistem agribisnis kepada konsumen, baik konsumen di dalam negeri maupun konsumen di luar negeri (ekspor). Kegiatan-kegiatan pengangkutan dan penyimpanan merupakan bagian dari subsistem ini.
Subsistem jasa penunjang (supporting institution) yaitu kegiatan jasa yang melayani pertanian seperti kibijakan pemerintah, perbankan, penyuluhan, pembiayaan dan lain-lain.
Secara ringkas dapat dinyatakan, sistem agribisnis menekankan pada keterkaitan dan integrasi vertical antara beberapa subsistem bisnis dalam satu sistem dalam komoditas. Keempat subsistem tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lain. Kemandegan dalam satu subsistem akan mengakibatkan kemandegan subsistem lainnya. Misalnya, kegiatan agroindustri tidak mungkin berkembang tanpa dukungan pengadaan bahan baku dari kegiatan produksi pertanian maupun dukungan sarana perdagangan dan pemasaran.
Dengan paradigma baru (agribisnis) tersebut, maka cara membangun pertanian adalah membangun keempat subsistem agribisnis tersebut mulai dari hulu hingga ke hilir secara simultan dan konsisten. Membangun dan mengembangkan agroindustri (agribisnis hilir) harus seiring dengan pengembangan agribisnis usahatani dan agribisnis hulu. Hal ini berbeda dengan paradigma lama dimana pembangunan pertanian yang kita anut di masa lalu, yang membangun pertanian hanya pada usahatani saja.
Pendekatan mata pencaharian penduduk desa yang berkelanjutan untuk pembangunan pedesaan terpadu. Pendekatan yang diajukan oleh Djoeroemana, Salean, dan Nope (2006) ini menegaskan bahwa Pengembangan Perdesaan Terpadu haruslah mencakup sektor fisik, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Elemen-elemen kunci dalam pendekatan ini adalah:
• Berpusat pada masyarakat dan dikendalikan oleh masyarakat;
• Pendekatan holistik yang dibangun atas dasar pengetahuan yang telah ada pada masyarakat mengenai kesempatan, kendala serta kapasitasnya untuk peningkatan dan pertumbuhan;
• Dinamik dan bersedia untuk berubah dengan berbagi dalam belajar dan memonitor partisipasi;
• Berfokus pada pengembangan kapasitas untuk individu dan jaringan sosial yang dapat meningkatkan potensial yang ada demi mencapai sasaran;
• Harus dibangun atas dasar pemahaman setara dalam berbagai permasalahan yang relevan serta konteksnya dengan masyarakat kecil dan kebijakan serta strategi makro dan segala kaitannya;
• Adanya kelangsungan dan berkelanjutan suatu proses dan hasil (dalam suatu siklus).
Pengembangan Perdesaan Terpadu memang sempat menjadi populer dalam pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Kenyataan tentang jumlah desa yang besar dan berikut, lapangan pertaniannya, serta masalah ketertinggalan dan kemiskinan di desa-desa tersebut, maka pengembangan perdesaan terpadu merupakan alternatif untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Menurut Waterson (dalam Andrina et.al., 1991: 368) secara dominan praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu melibatkan 6 unsur di dalam pendekatannya yaitu:
a) pertanian padat karya;
b) pekerjaan umum skala kecil yang menyerap tenaga kerja;
c) industri ringan berskala kecil yang di bangun di dalam dan di sekitar daerah pertanian;
d) swasembada lokal dan partisipasi dalam pengambilan keputusan;
e) pembangunan hirarki perkotaan yang mendukung pembangunan perdesaan; dan
f) kerangka kerja institusional yang tepat guna utuk kemandirian koordinasi program multisektoral.
Dalam arus utama pembangunan perdesaan ---yang ditujukan pada peningkatan pendapatan, penyediaan pekerjaan, dan sumber penghidupan berbasis pertanian, pengembangan perdesaan terpadu juga digerakan oleh kebijakan yang menggeser pertanian intensif menuju (pembangunan) ekonomi perdesaan yang berkelanjutan (sustainable rural economies). Dalam konteks relasi antara perdesaan dan pertanian, juga terdapat situasi yang menunjuk adanya transisi dari pertanian sebagai penggerak utama digantikan oleh potensi non-pertanian sebagai faktor penting didalam pembangunan perdesaan. Sebagai hasilnya, ditemukan kenyataan difersifikasi desa, rasionalisasi kebijakan harga pertanian dan bentuk-bentuk perubahan adaptif dalam lapangan pertanian perdesaan.
Paralel dengan situasi (kebijakan) di atas, pergeseran juga terjadi pada masalah keterbatasan ukuran berbasis komoditi menuju kerangka yang lebih luas tentang kriteria pembangunan perdesaan dan lingkungan hidup. Hal ini memberi konsekuensi bahwa, pertanian dapat lebih dikembangkan apabila ada proteksi atas risiko eksternal dan dilakukannya berbagai langkah adaptasi, termasuk kini, dengan adanya tekanan isu dan dampak perubahan iklim. Kondisi ini jelaslah memberi kejelasan bahwa dalam kerangka pembangunan perdesaan dituntut adanya pemahaman tentang peran baru pertanian sebagai aktivitas multifungsi. Masalah di sini, praktek pengembangan perdesaan terpadu di Indonesia kurang berkemampuan menjawab masalah dan tantangan tersebut.
Pembangunan perdesaan jelas membutuhkan perubahan mendasar akan tujuan dan kerangka kebijakan agar lebih memiliki pendekatan yang lebih holistik. Suatu perubahan yang juga jelas membutukan alat analisis yang lebih memadai. Model pembangunan ekonomi (perdesaan) konvensional yang lebih disandarkan pada metodologi instrumental yang mengkaitkan sarana-sarana pencapaian tujuan, kurang bisa diandalkan untuk menganalisis dan menjawab masalah-masalah penting berkenaan dengan masalah struktural. Dengan begitu, memang benar, alat analisis yang baru dan lebih memadai diperlukan untuk memahami dan mengatasi masalah pembangunan perdesaan yang terus berkembang dan luas, serta sangat beragam. Dalam kerangka pengembangan kebijakan pembangunan perdesaan, Pengembangan Perdesaan Terpadu masa depan diajukan dalam konteks cara pandang ini.
Kata ‘Terpadu’ menegaskan akan obyek (pembangunan perdesaan) yang kompleks, bersifat multidimensi, dan melibatkan interaksi dari berbagai elemen/faktor. Suatu pendekatan analisis yang lebih dinamis dan holistik akan mempermudah bagi aktor ekonomi (pertanian) dan pengambil kebijakan untuk mendukung dan mengambil tindakan dalam Pengembangan Perdesaan Terpadu. Misalnya, pemahaman yang lebih kuat terhadap faktor-faktor kekuatan dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu dan kelompok masyarakat desa akan sangat mendukung bagi gerak transformasi terhadap nilai-nilai tersebut dan stuktur kelembagaan di desa. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan memberi dasar bagi cara pandang baru terhadap aktor-aktor utama pembangunan pertanian di perdesaan, yakni orang desa, petani laki-laki dan perempuan, keluarga petani, dan kelompok petani, terutama berkenaan dengan kepemilikan hak mereka dan pentingnya kedaulatan desa bagi mereka.
Sementara itu, Pembangunan Perdesaan Terpadu dalam konteks ‘sebagai instrumen percepatan pembangunan daerah tertinggal’ menjelaskan tentang suatu fokus dan komitmen politik untuk mendukung pembangunan perdesaan sebagai sarana untuk menggeser neraca indikator yang ada (melekat) di daerah (kabupaten) tertinggal untuk lepas dari ketertinggalan. Kenapa berurusan dengan fokus dan komitmen politik? Karena Pengembangan Perdesaan Terpadu dalam kerangka Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menghendaki adanya: ketegasan visi, menuntut fokus dan konsistensi akan kerangka kerja, strategi dan tujuan kebijakan pembangunan perdesaan, kapasitas dan dukungan kebijakan termasuk dalam hal: pengakuan terhadap kepemilikan hak, pelaksanaan kewajiban hukum negara (state obligation), pelaksanaan peran dan fungsi koordinasi kebijakan kantor KPDT, keterkaitan kebijakan lokal-pusat, tindakan kebijakan afirmatif dan akselerasi nilai dan potensi lokal, reformasi tata ruang dan tata guna lahan, pembaharuan dan perlindungan pemilikan dan penguasaan sumber daya agaria (agrarian reform), serta perlindungan akan akses (access reform). Di sini, ‘Bedah Desa’ disajikan sebagai ‘model pengembangan perdesaan terpadu untuk (sebagai instrumen) percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Dalam kerangka ‘Pembangunan Perdesaan Terpadu sebagai Instrumen Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal’ di sini diajukan pendekatan berbasis hak untuk memperkuat pelaksanaannya. Pendekatan berbasis hak dalam pelaksanaan Pengembangan Perdesaan Terpadu merupakan kritik pada praktek dari tindakan yang berlabel sama (PPT) selama ini. Dalam berbagai pengalaman praktek Pengembangan Perdesaan Terpadu, kelemahan-kelemahan yang mudah dijumpai adalah:
• terlalu fokus pada ekonomi pertanian (produksi);
• lemah dalam pengaturan kelembagaan;
• kerja lapangan pertanian didalamnya tidak diikuti dengan agrarian reform dan access reform;
• sangat tergantung pada skema/dukungan lembaga keuangan dan perbankan (besar/kuat/nasional);
• tidak konsisten dan tidak didukung oleh kebijakan (makro) nasional;
• tidak memberi kontribusi yang berarti pada masalah penanganan kemiskinan dan peningkatan standar kesehatan.
Pembangunan perdesaan terpadu berbasis hak dalam kerangka pendekatan berbasis hak, strategi dan tindakan didasarkan pada prinsip:
• Memahami masalah perdesaan, ketertinggalan dan kemiskinan sebagai masalah hak asasi;
• Fokus pada proses (seperti: partisipasi, pemberdayaan, active citizenship) dan outcome (seperti: struktur kelembagan, mampu mengatasi masalah pemenuhan hak individu, rumah tangga dan komunitas);
• Menekankan pada realisasi hak (yang bersifat entitlement dan saling terkait);
• Mengakui hak individu dan kelompok dalam menuntut tanggung jawab dan kewajiban hukum Negara (democratic governance);
• Mengakui pentingnya bantuan, dukungan, perluasan kesempatan;
• Fokus pada penyebab struktural dan (bentuk) manifestasi masalahnya
• Didasarkan pada sumber daya, pengetahuan dan kearifan lokal,
• Mengembangkan pengaturan kelembagaan berbasis faktor penggerak perubahan (seperti: jaringan modal sosial), nilai dan potensi lokal (local driving of change)
• Mengembangkan dialog, inovasi berbasis komunitas, dan mendesakkan terjadinya perubahan ke arah dan sistem yang lebih baik dan adil;
• Memperkuat perlindungan terhadap asset dan akses (khususnya, access reform dan agrarian reform).
• Menghendaki dukungan investasi modal, skema keuangan dan perbankan yang adil dan respek terhadap hak (non-state obligation)
• Mentransformasi pembangunan pertanian menuju pembangunan pedesaan, serta pembentukan ‘pasar’ yang berkeadilan
• Menggerakkan upaya daerah (kabupaten) tertinggal untuk lepas dari ketertinggalan.
Implikasi penting dalam aplikasi pendekatan berbasis hak ini adalah:
a) Mengakui keberadaan dan/atau kepemilikan hak. Konsekuensi logis dari adanya entitlement ini maka menjadi penting untuk dilakukan analisis situasi hak-hak konstitusional penduduk desa. Analisis situasi hak ini akan memfasilitasi penduduk desa untuk mau dan mampu ‘mendefinsikan’ hak-hak mereka; menerima informasi, memahaminya, dan melakukan analisis berkenaan realisasi hak-hak konsitusional (yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945 dan kovenan pokok hak asasi manusia internasional). Di sini, penduduk desa akan mempunyai penilaian tentang kesenjangan antara realisasi hak dengan hak-hak yang dijamin konstitusi tersebut, apa penyebabnya, dan apa yang perlu dilakukan untuk menuntut hak-hak mereka (individu dan kelompok penduduk desa). Dengan begitu, upaya memahami hak-hak mereka itu akan membuka jalan bagi proses pemberdayaan;.
b) Melibatkan ‘suara’ penduduk desa dalam memahami sebab-sebab kemiskinan dan ketertinggalan, siapa saja yang mengalami dampak buruk, siapa yang mengalami dampak terburuk, dan apa yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan (formulasi/alternative) kebijakan untuk mengatasinya. Secara metodologi, pelibatan suara dapat mendayagunakan ‘Participatory Poverty Assessment’ yang diformat dan ditujukan untuk praktek di desa-desa di daerah tertinggal, Analisis Jaringan (network analysis) dan keterkaitan kelembagaannya, dan berbagai tools (alat bantu) lainnya;
c) Mendorong terjadinya proses transformasi pembangunan pedesaan dan pengaturan kelembagaannya. Di sini, penggalian informasi yang dilakukan dengan menghargai / respek pada penduduk desa, terutama berkenaan dengan faktor-faktor dan nilai-nilai yang menggerakkan kehidupan desa; apa visi masa depan mereka; pengembangan inovasi berbasis pengetahuan dan sumber daya lokal, serta secara kuat dan konsisten merealisasi apa mereka impikan merupakan cara-cara yang bergerak tanpa henti (sebagai siklus) untuk kepentingan konteks ini. Di sini diajukan pendekatan analisis empat-i untuk memfasilitasi prosesnya;
d) Menata-ulang untuk perbaikan kondisi kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam dan memperkuat akses. Secara minimal, pengembangan perdesaan terpadu memerlukan konsensus (politik) baru dalam konteks (penetapan) tata ruang dan (pemanfaatan / pengelolaan) tata guna lahan. Pemilihan, penetapan, dan memproduksi komoditi prioritas (karena ‘komoditi unggulan’ sudah tercemari) dapat dilakukan dengan membangun consensus politik berkenaan dengan penetapan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Namun demikian, tindakan ini akan lebih kuat dan bermakna apabila diikuti dengan pelaksanaan agrarian reform dan access reform;
e) Kemampuan Negara, khususnya Pemerintah dan aktor bukan-Negara dalam mendukung dan melaksanakan kewajiban pemenuhan hak dalam kerangka pembangunan perdesaan terpadu (state obligation dan non-state obligation);
f) Memperkuat dampak Pengembangan Perdesaan Terpadu

1 komentar: