Minggu, 09 Mei 2010

Pertambangan dan Hak-Hak Ekosob: Persoalan

PEMERINTAH DAERAH DAN ORNOP:
APA YANG HARUS BERUBAH DALAM PERTAMBANGAN EMAS DI POBOYA?

Oleh Arianto Sangaji

Percakapan tentang rencana pertambangan emas di Poboya selama ini terus-menerus berjalan di tempat. Kekhawatiran (yang memang beralasan) lebih banyak berpijak kepada aspek-aspek dampak sosio-ekologis jika kegiatan penambangan akan dilakukan. Keberatan kalangan aktivis organisasi non-pemerintah (ornop) terutama berkenaan dengan pengrusakan sumber-sumber air dan pencemaran air karena proses penambangan yang selain rakus air, juga menggunakan saat kimia yang membahayakan. Tentu saja dampak negatif itu akan mengenai penduduk, bukan saja di kawasan Poboya dan sekitarnya, tetapi juga masyarakat di Palu secara lebih luas, mengingat kegiatan penambangan ini hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari Kotamadya Palu [1]. Tokoh aktivis ligkungan Indonesia, Chalid Muhammad memproyeksikan penambangan di Poboya sebagai malapetaka,[2] sesuai pengalamannya melihat berbagai kegiatan penambangan emas di berbagai belahan dunia.

Kritik Ornop semacam ini memang benar, tetapi bukan tanpa resiko. Pertama, berdasarkan prinsip (corporate social responsibility/CSR) [3], perusahaan-perusaha an sedapatnya akan memikul tanggung jawab dengan menekan dampak-dampak sosio-ekologis itu. Intinya, perusahaan berusaha peduli dengan kepentingan profit bisnisnya dan dalam waktu yang sama juga bersahabat dengan kelompok kepentingan lain, seperti pemerintah, petani dan penduduk asli, serikat buruh, dan kelompok-kelompok lainnya. Bagi perusahaan mencari untung adalah penting, tetapi dalam menjalankan aktivitas bisnis yang sehat, maka sangat penting untuk melindungi kepentingan kelompok lain, baik berhubungan dengan kehidupan sosial ekonominya, maupun kepentingan lingkungannya.

Dalam rangka itu, gagasan tentang penambangan yang bersih (clean mining), yang menghasilkan limbah rendah dan pengurangan pemakaian volume air adalah salah satu solusi yang kemungkinan dipilih oleh perusahaan. Di sisi lain, perusahaan-perusaha an juga dipaksa untuk mengembangkan riset dan pengembangan (research and development) tentang prediksi polusi tambang, pencegahan polusi, dan tehnik penambangan yang bersih. Langkah terakhir ini merupakan jalan keluar terhadap kebanyakan kegiatan riset industri penambangan yang lebih difokuskan kepada peningkatan produksi mineral yang menghasilkan banyak limbah dan rakus air.
Kedua, tangan pemerintah juga bisa dipakai untuk mengendalikan dampak pengrusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan yang kapitalistik. Salah satu di antaranya adalah penggunaan instrumen pajak yang berbasis mekanisme pasar akan menekan dampak-dampak ekologis. Misalnya, pengenaan pajak polusi pada jumlah material limbah dan pemakaian air merupakan insentif yang kuat bagi perusahaan untuk mengurangi limbah-limbah mereka. Sebaliknya pengurangan pajak kepada perusahaan yang mengembangkan proyek-proyek riset atau program-program percontohan untuk mengurangi limbah tambang dan konsumsi air akan menjadi insentif-insentif lain yang positif. Cara lain adalah promosi pengembangan tehnologi pertambangan yang kurang menimbulkan polusi melalui permintaan kepada perusahaan-perusaha an untuk melaporkan ke publik jumlah material racun yang dilepaskan ke dalam lingkungan.

Hasilnya, sudah kita lihat, kritik-kritik ornop di sekitar isyu dampak sosio-ekologis sama sekali tidak menyurutkan perusahaan-perusaha an tambang untuk meneruskan aktivitasnya memberikan ilustrasi bahwa perusahaan memiliki kemampuan beradaptasi, karena substansi kritik ornop kurang bersentuhan, kalau tidak mau dikatakan tidak sama sekali berkaitan dengan soal-soal mendasar ekonomi politik industri pertambangan di Indonesia. Dengan soal ekonomi politik di sini, saya maksudkan sebagai tidak adanya kritik ideologi terhadap industri pertambangan Indonesia yang dibangun di atas faham neoliberalisme.

Mantera ’resiko neoliberal’
Industri pertambangan dianggap memiliki beberapa ciri penting, yakni, padat modal (capital intensive), bersifat jangka panjang, dan seringkali merupakan bisnis yang tidak dapat diprediksikan. Oleh karena itu, investasi di industri ini dipercayai umum sebagai investasi yang kaya dengan ’resiko’. Kepercayaan ini jelas-jelas bertemu dengan kepentingan regim neoliberal, misalnya, gagasan mengenai pentingnya kemudahan arus pergerakan modal dan pandangan bahwa negara merupakan faktor penghambat bagi investasi .[4] Dalam sejarahnya industri pertambangan memang dikuasai oleh mantera ’reskio neoliberal’ (neoliberal risk) yang menganggap bahwa perusahaan-perusaha an pertambangan dan para investornya (perusahaan- perusahaan, bank, para pemegang saham, dan lainnya) menanggung sebuah resiko yang besar dan tidak sepadan dibandingkan dengan pemilik tanah (atau mineral) di mana perusahaan-perusaha an itu beroperasi. Resiko-resiko itu meliputi; (a) resiko politik, yakni ketidak-stabilan suatu kawasan karena ketidak-mampuan managemen pemerintahan para politisi, ancaman terorisme dan sabotase, kemungkinan pembatalan kontrak, atau kemungkinan pengambilan asset; (b) resiko komersial, di mana industri pertambangan mengklaim dirinya sebagai bisnis yang paling penuh resiko secara komersial karena memerlukan waktu yang lama antara investasi dan perolehan keuntungan, dan perubahan-perubahan harga komiditi yang tak terduga dan; (c) resiko geologi, terutama berhubungan dengan lapangan eksplorasi geologi yang penuh ketidak-pastian .[5]
Dengan mantra ini, perusahaan-perusaha an pertambangan menyusun kriteria investasi di mana keputusan untuk melakukan investasi dan eksplorasi ditentukan oleh prinsip-prinsip tertentu. Pertama, pada tahap eksplorasi, perusahaan-perusaha an mempertimbangkan aspek potensi geologi, stabilitas politik, keamanan dalam penguasaan (security of tenure), hukum pertambangan, stabilitas hukum pertambangan, stabilitas perpajakan/tingkat pajak, dan karakteristik dari deposit. Kedua, keputusan melakukan investasi penambangan didasarkan pada potensi keuntungan, stabilitas politik, perolehan keuntungan, tingkat pajak/stabilitas perpajakan, biaya pasar, dan stabilitas hukum pertambangan.[6]

Sebelum gonjang-ganjing mengenai neoliberalisme dewasa ini, sebenarnya industri pertambangan Indonesia adalah contoh paling pas bagaimana faham ini dipraktekkan. Itu bisa dilihat dari sistem kontrak karya (KK) yang diberlakukan sejak awal Orde Baru. Di bawah jaminan kepastikan hukum berdasarkan KK, perusahaan-perusaha an transnasional, seperti Freeport, Inco, Newmont tetap leluasa mengeruk isi perut bumi Indonesia, kendati kritik dan cercaan terus-menerus menghujani perusahaan-perusaha an itu.

Sebuah survey di tahun 1995 yang pernah dimuat di Asian Mining Review, dan tampaknya masih relevan untuk saat ini, menetapkan secara keseluruhan Indonesia sebagai Negara tujuan pertambangan paling dipilih, dan yang terbaik dilihat dari sisi hukum pertambangan, pelayanan pemerintah, dan resiko politik, dibandingkan dengan India, Malaysia, Thailand, China, Vietnam, Filipina, dan Laos. Kemampuan pemerintah memberikan stabilitas politik dan lingkungan ekonomi yang mendukung merupakan salah satu keunggulan Indonesia, termasuk sistem kontrak karya (KK) yang unik dan menguntungkan.

Akibat rezim neoliberal ini, maka sumbangan industri ini terhadap perekonomian nasional tergolong kecil. Laporan Pricewaterhousecoop ers,[7] misalnya mencatat kontribusi sektor ini terhadap GDP tahun 2006 sebesar 3 persen atau pada angka Rp 56 trilyun. Di antaranya sumbangan itu meliputi, kompensasi kepada buruh Indonesia, pembayaran kepada suplier di dalam negeri, penerimaan pemerintah, dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham berkebangsaan Indonesia, dan pembayaran kepada perusahaan-perusaha an dan bank-bank di Indonesia. Yang terbesar di antaranya adalah penerimaan pemerintah, yakni sebesar Rp. 31 trilyun.

Sebenarnya penerimaan pemerintah dari sektor pertambangan dapat ditingkatkan jika pemerintah memikirkan kepemilikan saham di dalam perusahaan pertambangan, sehingga dengan demikian pemerintah berkesempatan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar. Sayangnya, dewasa ini peluang itu tertutup dan bahkan keuntungan dibawa lari ke luar bumi Indonesia, karena industri pertambangan dikuasai perusahaan-perusahaan transnasional. Di bawah regim pertambangan neoliberal, fungsi pemerintah tidak lebih dari pelindung bagi mengalirnya pengerukan keuntungan itu.

Oleh karena itu diperlukan sikap politik yang berbeda sebagai jawaban terhadap merajalelanya praktik neoliberalisme di dalam industri pertambangan Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pemerintah harus ambil bagian dalam industri ini, bukan malah semakin menjauh, seperti yang didiktekan faham neoliberal. Venezuela barangkali bisa dijadikan sebagai model perbandingan menyusul rencana pemerintah di sana melakukan nasionalisasi terhadap projek pertambangan emas raksasa Las Cristinas yang selama ini dioperasikan oleh Crystallex International Corp., sebuah perusahaan pertambangan asal Kanada. Menteri pertambangan negeri itu Rodolfo Sanz sudah menjanjikan bahwa, tahun depan, salah satu pertambangan dengan deposit emas terbesar di Amerika Latin ini akan dioperasikan di bawah kontrol pemerintah [8]

Pertambangan Poboya dan perubahan mindset
Awalnya, rencana penambangan emas di Poboya dilakukan salah satu raksasa dalam bisnis pertambangan dunia, Rio Tinto. Perusahaan ini memperoleh KK generasi VI tahun 1997 melalui anak perusahaannya PT Citra Palu Mineral (CPM), dengan mengantongi 90 persen saham. Di tengah-tengah oposisi yang kuat dari masyarakat, ornop, dan pemerintah daerah Sulawesi Tengah, saham CPM beralih dari Rio Tinto ke Newcrest Mining Ltd, perusahaan raksasa tambang lain asal Australia. Tahun 2005, PT Bumi Resources membeli saham CPM sebesar 99,99 persen dari Newcrest Mining Ltd. Mulai melakukan pengeboran sejak 1998, KK CPM sendiri terdiri atas 6 blok pada wilayah seluas 95,496 hektar, di mana Blok 1 Poboya sudah memasuki tahap ekplorasi paling maju, dengan perkiraan terdapat potensi 2 juta ons emas.[9]

Rencana penambangan emas Poboya kembali hadir beberapa tahun terakhir. Pemerintah daerah sendiri tampaknya sedikit berubah sikap menyusul pergantian gubernur Sulawesi Tengah dari Aminuddin Ponulele ke Banjela Paliuju. Rencana investasi penambangan emas di Poboya oleh PT Bumi Resources Tbk. seperti telah menghipnotis sebagian pejabat di Sulawesi Tengah. Bayangan kandungan 2 juta ons emas membuat sebagian pejabat pemerintah mulai tergiur dengan peluang sumbangan ekonomi kepada daerah jika ada kegiatan penambangan. Bagi Pemda, penambangan ini seperti ’durian runtuh’ bagi sumber pendapatan daerah. Oleh karena itu, penambangan Poboya merupakan keniscayaan.

Padahal, dengan melihat komposisi kepemilikan sahamnya, dapat dipastikan bahwa melalui PT Bumi Resources Tbk, keuntungan yang besar dari kekayaan mineral di Poboya akan dibawa keluar dari daerah ini. Ini dengan jelas kalau melihat para pemegang saham PT Bumi Resources Tbk. adalah PT Bakrie and Brothers Tbk (7.44), The Bank of New York Mellon S/A Bakrie and Brothers (3.59), the Bank of New York Mellon S/A Helena Holdings (3.00), JP Morgan Chase Bank NA RE Norbax Inc (2.73), Bank of New York Vacheron Overseas Ltd (2.17), dan Publik (81,08).[10] Yang tersisa di Sulawesi Tengah paling utama adalah upah buruh, sejumlah komponen jenis pajak, program-program filantropis melalui pengembangan masyarakat (community development).
Dari komposisi pemegang saham, PT Bumi Resources Tbk, dengan demikian, juga merupakan perusahaan pertambangan yang agak unik dalam industri pertambangan di Indonesia. Karena, dibanding pemain di sektor pertambangan dominan di Indonesia, seperti PT Freeport Indonesia (FI) di mana Freeport McMoran menguasai 90,64 persen saham [11] dan PT Inco yang saham mayoritasnya (60,8 persen) dikuasai oleh Vale Inco Ltd. dan 20,1 persen dikuasai oleh Sumitomo Metal Mining Co.Ltd.[12], maka dalam kasus PT Bumi Resources Tbk. saham mayoritasnya diperdagangkan di lantai bursa. Dengan kata lain saham mayoritas PT Bumi Resources adalah saham portofolio yang merupakan investasi jangka pendek, di mana pergerakan keluar masuk modal sangat cepat. Dengan komposisi kepemilikan saham seperti itu kepastian investasi PT Bumi Resources Tbk. sangat bergantung kepada dinamika pasar modal. Itu dengan jelas terlihat ketika krisis keuangan di US sejak Oktober 2008 telah ikut merontohkan harga saham perusahaan sampai dihentikan perdagangannya di Bursa Efek Jakarta (BEJ).[13]

Dengan latar belakang tersebut, di tengah-tengah kontroversi mengenai penambangan emas Poboya, yang di satu sisi menempatkan ornop sebagai penentang dengan dalih kerusakan lingkungan, dan pemerintah yang berfikir tentang keuntungan ekonomi, tampaknya perlu dicarikan jalan tengah melalui perubahan mindset yang mendasar. Baik pemerintah maupun ornop yang selama ini tidak terlalu peduli dengan isyu-isyu kepemilikan, sebaiknya mulai bukan saja belajar tentang urgensi kepemilikan dalam industri pertambangan, tetapi secara politik dan ekonomi mengambil posisi yang tegas dengan gagasan itu. Sudah saatnya, pemerintah merubah posisi politiknya sekedar sebagai agen yang melindungi kepentingan perusahaan dan menarik pajak (seadanya) dari industri pertambangan, dan beralih menjadi pemain dalam industri ini. Dengan kata lain, pemerintah sudah saatnya mengakhiri posisi berdirinya sebagai agen yang memberi jalan bagi imperialisme melalui industri pertambangan.

Dalam kerangka berfikir semacam ini, pemerintah daerah Sulawesi Tengah dan Kota Palu, sudah saatnya bertindak lebih jauh untuk tidak menggadaikan kekayaan emas Poboya jatuh ke tangan perusahaan tambang swasta dalam hubungan bisnis yang rendah kentungannya bagi pemerintah. Landasan ekonomi dan politik yang menjadi tempat berpijak adalah jika penambangan emas akan dilakukan di Poboya, maka manfaat terbesar harus jatuh ke tangan pemerintah daerah. Gagasan tentang hak-hak ekslusif pemerintah (daerah) seperti kepemilikan saham dalam jumlah yang signifikan, perpanjangan dan pemutusan kontrak dengan swasta, dan regulasi yang restriktif berkenaan dengan aspek lingkungan dan sosial adalah salah satu solusi. Tanpa itu, kegiatan penambangan sebaiknya ditunda atau tidak dilakukan sama sekali. Memang Undang Undang Pertambangan produk Orde Baru bisa dilihat sebagai hambatan utama, atau bahkan juga berbagai aturan tentang otonomi daerah, tetapi Gubernur Sulawesi Tengah dan Walikota Palu harus menyadari bahwa secara politik mereka adalah pemimpin yang memperoleh legitimasi melalui pemilihan umum langsung di tingkat lokal. Dengan dalih itu, yang diperlukan adalah keberanian politik keduanya untuk melahirkan kebijakan- kebijakan populis tentang penambangan Poboya.

Sebaliknya, Ornop sudah saatnya merubah paradigma lama ’advokasi’ yang bertumpu pada mantera ’good governance’, yang menekankan aneka kritik mengenai penggusuran penduduk dan dampak-dampak sosio-ekologis, tetapi meninggalkan isyu-isyu yang lebih politis. Ornop harus membongkar paradigma advokasi yang sangat bertumpu di atas ideologi ini, yang dengan gesit dikampanyekan lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor dari negeri-negeri kapitalis, dan memperluasnya dengan isyu politik yang lebih mendasar, yakni politik kepemilikan. Dalam kasus Poboya, posisi Ornop tidak bisa lagi bersandar kepada pengetahuan tehnis mengenai dampak sosial dan lingkungan yang menjadi dasar kritiknya selama ini, tapi harus merambah ke ranah politik, dengan melihat bahwa untung rugi aktifitas pertambangan di sana sangat ditentukan oleh siapa yang paling punya kuasa dalam mengontrol kegiatan pertambangan. Dalam posisi ini, Ornop mesti melirik pemerintah (termasuk pemerintah daerah) sebagai pusat kuasa di bidang politik dan ekonomi, dan tidak termakan dengan propaganda neoliberal yang memaksakan peran pemerintah yang rendah dan minim.


Catatan kutipan
________________________________________
[1] Anonimous (N.D.) Tambang Bakrie mengancam sumber air di Sulawesi Tengah. [online] http://www.jatam. org/content/ view/551/ 30/ [akses:15-12- 08].
[2] Anonimous (2008) Memotret Untung Rugi Eksploitasi Tambang Emas Poboya: Gubernur dan Walikota Sebaiknya Menolak Tambang Poboya, Radar Sulteng, 17 November.
[3] Terdapat banyak definisi, tetapi sekurangnya terdapat 4 (empat) hal pokok mengenai CSR: (1) merawat hubungan baik dengan komunitas melalui kegiatan-kegiatan kedermawanan dan dukungan keuangan; (2) menyumbang kepada usaha-usaha yang bersifat kemanusiaan seperti issu persamaan di tempat kerja; (3) pemenuhan kewajiban lingkungan yang berdampak kepada pencemaran udara dan air; (4) mengutamakan konsumen dengan pemberian harga yang fair dan issue tentang produk yang aman. Myrna Wulfson (2001) The Ethics of Corporate Social Responsibility and Philanthropic Ventures, Journal of Business Ethics 29:135-145, p.136-7.
[4] Jody Emel & Matthew T. Huber (2008) A Risky Bussiness: Mining, rent and the neoliberalization of “risk”, Geoforum (39): 1394.
[5] ibid 1397
[6] Denise Leith (2003) the Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai. P 38-40.
[7] Pricewaterhousecoop ers (2008) Mine Indonesia 2007: Review of trends in Indonesian mining industry, Jakarta.
[8] Frank Jack Daniel (2008) Venezuela says to take over Crystallex gold project, [online] http://www.reuters. com/article/ marketsNews/ idUSN05311304200 81105. [akses 16-12-2008]
[9] PT. Bumi Resources Tbk. (2008) Information to shareholders, Jakarta: PT. Bumi Resources, p. 5.
[10] ibid
[11] Freeport McMoran Copper&Gold Inc. (2008) A World of Opportunities (2007 Annual Report). [Online] http://www.fcx. com/ir/AR/ 2007/FCX_ AR_2007.pdf , [akses 16-12-08]. p.15.
[12] PT International Nikel Indonesia Tbk. (2008) 2007 Annual Report. [Online] http://pt-inco. co.id/pdf/ PT_Inco_2007_ Annua_%20Report. pdf. [akses 16-12-08]. p.4.
[13] Berliana Elisabeth S. (2008) Suspensi Saham Bumi Mulai Dicabut Pagi ini, Bisnis Indonesia, 11 November.

1 komentar: