Kamis, 06 Agustus 2009

Mengenal Kovenan tentang Hak Ekosob (2)


Mengenal Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (2)

Beberapa cendekiawan berpendapat bahwa hak ekonomi tidaklah bisa diadili. Artinya, pengadilan tidak bisa memenuhi hak tersebut. Karenanya mereka berpendapat bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bukanlah hak an-sich. Perdebatan mengenai bisa tidaknya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan perdebatan yang tak bisa disimpulkan. Di beberapa bidang seperti hak-hak buruh, pengadilan bisa mengintervensi dan memberikan pertolongan.

Namun demikian, lembaga pengadilan sering menganggap beberapa isu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya sebagai masalah kebijakan yang harus ditangani oleh pihak eksekutif dan bukannya oleh pihak yudikatif. Bisa tidaknya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diadili merupakan suatu wilayah yang terkebelakang di bidang hak asasi manusia. Berdasar pada praktek pengadilan yang ada sekarang, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak memiliki nilai intrinsik.

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengidentifikasi beberapa ketentuan Kovenan tersebut di bawah ini yang bisa ditangani segera oleh pihak yudikatif serta organ-organ lainnya,[i] yakni:

Pasal 3 :non-diskriminasi dalam realisasi hak.

Pasal 7 (a) (I) :upah yang adil dan setara; upah yang sama bagi pekerjaan yang sama

antara laki-laki dan perempuan.

Pasal 8 :hak untuk membentuk serikat buruh dan hak mogok.

Pasal 10 (3) :perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial.

Pasal 13 (2) (a) :pendidikan dasar wajib.

Pasal 13 (3) :hak orang tua untuk memilihkan sekolah bagi anak-anak mereka guna

menjamin pendidikan agama serta moral yang sesuai dengan keyakinan

mereka.

Pasal 13 (4) :hak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah.

Pasal 15 (3) :kebebasan melakukan penelitian sains serta kegiatan kreatif.


Hak-Hak yang Diakui dalam Kovenan: Tinjauan Ringkas

Pasal 6, Hak Bekerja

‘Hak bekerja merupakan hal yang sangat penting bukan hanya dalam dirinya sendiri namun juga karena hak ini bisa menjadi kunci bagi dinikmatinya hak-hak yang lain oleh individu yang bersangkutan.’[ii] Hak bekerja mempunyai dua elemen yakni, akses pada kesempatan kerja dan hak untuk tidak disingkirkan dari pekerjaan secara semena-mena. Akses pada kesempatan kerja meliputi kesamaan kesempatan termasuk non-diskriminasi, latihan dan pendidikan. Hak untuk tidak disingkirkan dari pekerjaan meliputi perlindungan dari pemecatan semena-mena. Ungkapan ‘memilih dengan bebas’ berarti larangan terhadap kerja paksa.

Pendekatan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam hal ini ialah ‘menjamin agar Negara mengembangkan dan menjalankan kebijakan yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan lapangan kerja bagi semua orang dan agar memberikan perhatian yang memadai kepada sektor-sektor penduduk yang rawan.[iii]

Pasal 7, Kondisi Kerja yang adil dan baik

Pasal 7 merupakan suplemen dari hak bekerja yang diakui dalam Pasal 6. Pasal 7 menjamin hak atas upah yang layak, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, non-diskriminasi dalam persyaratan rekrutmen serta kondisi kerja yang aman dan sehat.

Selain itu, pemahaman Pasal 7 juga termasuk prinsip bahwa, kaum perempuan harus memperoleh jaminan atas ‘kondisi kerja yang tidak lebih inferior dibanding yang diperoleh oleh kaum pria.’ Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menekankan pentingnya upah minimum sebagai syarat untuk menjamin kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. Komite juga menekankan pentingnya keikut-sertaan buruh dalam menentukan upah minimum serta keberadaan perangkat penegak pelaksanaan ketentuan (enforcement machinery).

Ketika mempertimbangkan laporan-laporan dari Negara Peserta, Komite menyatakan bahwa penetapan upah minimum setidaknya harus memenuhi kebutuhan dasar para buruh.[iv] Komite mengharapkan adanya informasi mengenai status legal mengenai hak upah minimum guna menilai ‘hingga sejauh mana sistem tersebut memperhitungkan perlunya melibatkan unsur/instrumen hak asasi manusia.[v]

Dalam hal prinsip persamaan upah bagi perkerjaan yang sama, Komite mengambil pendekatan bahwa hal itu harus dijamin segera. Mengenai kondisi kerja yang aman dan sehat, Komite mengharapkan informasi mengenai perundangan yang menetapkan kondisi kesehatan dan keamanan kerja minimum. Dalam Pasal 7, kondisi kerja meliputi hak berristirahat dan atas waktu luang, pembatasan jam kerja, cuti berkala dengan upah penuh dan pemberian upah di hari-hari lubur umum. Komite semakin menekankan pentingnya masalah pengurangan jam kerja dan hari-hari libur dengan upah penuh.[vi]

Pasal 8, Hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat buruh

Hak ini diakui dalam Pasal 22 ICCPR dan juga dalam Konvensi ILO No. 87 dan No. 98. Pasal 8 ICESCR berbeda dari berbagai instrumen tersebut karena di sini diakui hak mogok yang tidak diatur dalam berbagai instrumen lain di atas. Semua Negara Pihak diminta untuk menyebutkan ‘apakah hak mogok memperoleh perlindungan konstitusional, legislatif atau perlindungan lain.’[vii] Hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat buruh juga meliputi hak untuk membentuk federasi dan bergabung dalam serikat-serikat buruh internasional.

Komite menganggap Pasal 8 bisa diterapkan dengan segera. Namun demikian, Pasal 8 memungkinkan dilakukannya restriksi terhadap hak yang terkandung di sana tapi Komite juga mengharapkan informasi mengenai restriksi legal yang dikenakan terhadap hak ini.

Pasal 9, Hak atas jaminan sosial

Komite mengharapkan Negara Pihak untuk melaporkan secara spesifik mengenai jenis-jenis skema jaminan sosial yang terdapat di negara masing-masing. Skema yang diidentifikasi oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, meliputi:[viii]

o Pelayanan kesehatan

o Jaminan bagi orang cacat (invalidity benefits)

o Jaminan hari tua

o Jaminan kecelakaan kerja (employment injury benefits)

o Asuransi kesehatan (cash sickness benefits)

o Jaminan pengangguran

o Jaminan bagi yang selamat dari kecelakaan (survivors’ benefits)

o Jaminan keluarga

o Jaminan melahirkan (maternity benefits)

Komite juga mengharapkan adanya informasi tentang nilai anggaran yang ditetapkan dalam APBN dan APBD berkenaan dengan, (a) berapa nilai itu dibandingkan dengan GNP (persentase); dan (b) berapa jumlah nyata anggaran publik yang dibelanjakan untuk jaminan sosial. Dengan demikian, Komite menekankan pentingnya pengembangan skema khusus dan alokasi anggaran yang memadai guna menjamin hak atas jaminan sosial.

Pasal 10, Perlindungan keluarga

Pasal 10 mengatur masalah keluarga, perkawinan, perlindungan masa kelahiran (maternity) dan hak anak. Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengharapkan informasi menyangkut makna keluarga dalam setiap masyarakat, perlindungan yang diberikan kepada keluarga serta hak bagi kaum lelaki dan, khususnya, kaum perempuan untuk memasuki perkawinan dengan kehendak penuh serta untuk membentuk keluarga.

Komite juga mengharapkan informasi menyangkut pengaturan perlindungan maternity formal yang tersedia bagi kaum perempuan dan cakupannya. Mengenai anak-anak, Komite juga mengharapkan informasi menyangkut langkah-langkah khusus yang diambil untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial.

Pasal 11, Hak atas standar kehidupan yang layak

Pasal 11 mencakupi hak yang sangat luas. Pasal 11 memuat hak atas standar kehidupan yang layak, hak atas peningkatan kondisi hidup yang berkesinambungan, serta hak atas pangan, sandang dan papan yang memadai.

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengharapkan informasi mengenai standar kehidupan yang ada pada saat pelaporan, mengenai penduduk, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kelompok-kelompok sosial-ekonomi, budaya serta pengelompokan lain yang berbeda-beda yang ada dalam masyarakat. Selain itu, Komite juga mengharapkan informasi mengenai perubahan-perubahan atas standar kehidupan dalam kurun tertentu (misalnya dibandingkan 10 atau 5 tahun sebelumnya) yang terjadi pada kelompok-kelompok tersebut. Komite juga mengharapkan informasi mengenai PDB per kapita dari 40 persen penduduk yang paling miskin.

Hak atas pangan yang cukup dan layak

Mengenai hak untuk memperoleh pangan yang cukup dan layak, Komite mengharapkan informasi-informasi sebagai berikut:[ix]

(a) Cakupan hingga sejauh mana hak untuk memperoleh cukup pangan telah terpenuhi serta sumber-sumber informasi yang ada mengenai hal ini, termasuk survai gizi serta pengaturan dan/atau pelaksanaan pemantauan lainnya;

(b) Informasi detil ---termasuk data statistik yang dijabarkan menurut area geografis yang berbeda-beda--- mengenai cakupan hingga sejauh mana kelaparan dan/atau kurang gizi itu terjadi. Terutama yang menyangkut secara khusus kelompok-kelompok yang rentan atau kurang diuntungkan seperti buruh tani, petani kecil, pengangguran desa, pengangguran kota, kaum miskin perkotaan, buruh migran, masyarakat terasing (indigenous peoples), anak-anak, kalangan lanjut usia, serta kelompok-kelompok rawan lainnya. Juga adanya/terjadinya setiap perbedaan yang signifikan diantara situasi kaum lelaki dan perempuan dalam setiap kelompok;

(c) Informasi mengenai perubahan-perubahan, jika memang terjadi selama periode pelaporan menyangkut kebijakan nasional, perundang-undangan serta praktek yang berpengaruh negatif pada akses terhadap kecukupan pangan oleh kelompok-kelompok tersebut di atas maupun sektor-sektor lainnya;

(d) Informasi mengenai langkah-langkah reforma agraria yang ditempuh guna menjamin agar sistim agraria dimanfaatkan secara efisien dalam rangka untuk meningkatkan keterjaminan pangan (food security) di tingkat rumah tangga tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap martabat kemanusiaan baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Hak atas pemukiman yang layak

Hak atas pemukiman yang layak telah menarik perhatian Komite lebih banyak dibanding hak-hak lain yang terkandung dalam Kovenan. Komite dalam sidangnya yang ke-6 tahun 1991 mengadopsi Komentar Umum yang rinci mengenai Pasal 11 (1) Kovenan menyangkut masalah hak atas pemukiman yang layak. Komentar Umum mengenai hak atas pemukiman yang layak memberikan interpretasi otoritatif atas hak ini. Ia menjadi perangkat yang berguna bagi kelompok-kelompok di tingkat nasional yang bekerja di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berikut adalah hal-hal yang bisa ditarik dari Komentar Umum Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengenai hak atas pemukiman yang layak:

Inter-relasi antara Hak atas Pemukiman dengan Hak-hak Lainnya. Komite mencatat bahwa ‘hak atas pemukiman yang layak tidak bisa dilihat terpisah dari hak asasi manusia lainnya yang terkandung dalam dua “Kovenan Induk” serta instrumen internasional yang berlaku lainnya.’ Komite juga mencatat bahwa ‘selain realisasi dari hak-hak yang lain ----misalnya hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan berserikat (umpamanya bagi petani penggarap serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya), hak kebebasan bermukim (freedom of residence) serta hak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan publik---- juga merupakan hak-hak yang saling terkait manakala hak atas pemukiman yang layak harus direalisasikan dan dinikmati oleh semua kelompok dalam masyarakat. Demikian pula, hak untuk tidak mengalami campur tangan secara sewenang-wenang atau secara melawan hukum atas kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga maupun korespondensi seseorang, merupakan dimensi yang sangat penting dalam mendefinisikan hak atas pemukiman yang layak.’[x]

Timpangnya antara Standar Internasional dengan Realitas yang Ada. Komite menyatakan bahwa ‘masih terdapat jurang yang lebar yang mengganggu antara standar yang ditetapkan dalam pasal 11 (1) dari Kovenan dengan situasi yang terdapat di banyak belahan dunia.’[xi] Komite tidak menganggap masalah pemukiman hanya relevan bagi negara-negara berkembang. Menurut Komite, ‘walaupun masalahnya seringkali lebih akut di beberapa negara berkembang yang menghadapi kendala besar dalam hal sumberdaya maupun kendala lainnya, Komite melihat bahwa masalah yang cukup signifikan menyangkut ketiadaan pemukiman atau tidak memadainya pemukiman juga terjadi di beberapa masyarakat yang telah maju perekonomiannya.’[xii]

Pemegang Hak atas Pemukiman. Komite secara kategoris menyatakan bahwa hak atas pemukiman yang layak berlaku bagi semua orang. Komite juga mengklarifikasi bahwa, istilah himself and his family ---dirinya sendiri dan keluarganya, tidaklah menimbulkan ‘pembatasan apapun atas berlakunya hak tersebut bagi perorangan atau bagi rumah tangga dengan kepala keluarga seorang perempuan atau kelompok-kelompok lain serupa itu.’ Dengan demikian, konsep “keluarga” harus dipahami dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh karenanya, individu dan juga keluarga berhak atas pemukiman yang layak tanpa memandang umur, status ekonomi, kelompok atau status afiliasi lainnya, serta faktor-faktor lain (yang serupa itu). Terlebih sesuai dengan ketentuan Pasal 2 (2) Kovenan, aktualisasi penikmatan hak ini tidak boleh mengalami segala bentuk diskriminasi.’[xiii]

Cakupan Hak. Dalam pandangan Komite, hak atas pemukiman tidak boleh ditafsirkan secara sempit atau restriktif yang menyetarakannya dengan, umpamanya, penyediaan tempat berteduh dengan hanya sepotong atap di atas kepala atau memperlakukan tempat berteduh sebagai suatu komoditas belaka. Tapi ia harus dilihat sebagai suatu hak untuk tinggal di suatu tempat dengan rasa aman, damai dan bermartabat. Hal ini dinyatakan karena dua alasan. Pertama, hak atas pemukiman secara integral terkait dengan hak asasi manusia lainnya serta dengan prinsip-prinsip dasar di mana Kovenan ini dilandaskan. Maka dari itu, “martabat yang melekat pada diri manusia” dimana hak-hak dalam Kovenan ini berasal mensyaratkan agar istilah “pemukiman” ditafsirkan dengan cara yang memperhitungkan berbagai pertimbangan lainnya, diantaranya yang paling penting ialah bahwa hak atas pemukiman harus dijamin bagi semua orang tanpa memandang pendapatan atau aksenya terhadap sumberdaya ekonomi.

Kedua, rujukan dalam pasal 11 (1) harus dipahami sebagai merujuk tidak hanya kepada pemukiman namun kepada pemukiman yang layak.’[xiv]

Arti Pemukiman yang Layak. Sembari mengakui bahwa faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologi serta faktor-faktor lain turut berperan dalam menentukan apa yang disebut sebagai layak, Komite juga mengidentifikasi komponen-komponen penting mengenai yang disebut layak sebagai berikut:

(a) Jaminan hukum atas penguasaan dan pemilikan (legal security of tenure)

Penguasaan dan pemilikan (tenure) mengambil berbagai bentuk, termasuk penyewaan akomodasi (public and private), pemukiman kooperatif, termasuk penguasaan tanah atau, hak milik. Tanpa terpengaruh berbagai jenis jenis tenure, semua orang harus mempunyai suatu tingkat keamanan tenure yang memberikan perlindungan legal dari penggusuran paksa, gangguan (terhadap pemukiman) atau ancaman-ancaman lainnya. Sebagai konsekuensinya, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah segera guna memberikan legal security of tenure bagi perorangan serta keluarga, tentu juga dengan memperhatikan aspirasi mereka.

(b) Ketersediaan pelayanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur

Pemukiman yang layak harus mempunyai fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan dan pemenuhan gizi. Semua yang berhak atas pemukiman yang layak harus mendapatkan akses yang berkelanjutan atas sumber daya alam serta sumber daya umum, air minum yang aman, energi untuk memasak, pemanas ruangan dan penerangan, sanitasi dan fasilitas untuk mencuci, sarana penyimpanan makanan, tempat pembuangan sampah, saluran pembuangan dan pelayanan-pelayanan darurat.

(c) Keterjangkauan (affordability)

Biaya keuangan personal atau keluarga yang berkaitan dengan pemukiman haruslah pada tingkat yang tidak mengancam atau mengorbankan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Langkah-langkah harus diambil oleh Negara Pihak guna menjamin agar prosentasi biaya yang berkaitan dengan pemukiman, secara umum, setaraf dengan tingkat-tingkat pendapatan. Negara Pihak harus mengembangkan subsidi pemukiman bagi mereka yang tidak mampu untuk memperoleh pemukiman dengan harga yang terjangkau, juga bentuk-bentuk serta tingkat-tingkat biaya pemukiman yang mencerminkan kebutuhan pemukiman secara memadai.

Sesuai dengan prinsip keterjangkauan, petani penyewa (tenants) harus dilindungi dengan cara-cara yang tepat dari tingkat sewa atau kenaikan sewa yang tidak masuk akal. Dalam konteks kehidupan masyarakat di mana bahan alam menjadi sumber utama yang digunakan sebagai bahan bangunan untuk perumahan, langkah-langkah harus diambil oleh Negara Pihak untuk menjamin ketersediaan bahan-bahan tersebut.

(d) Laik huni (habitability)

Pemukiman yang layak haruslah yang laik huni atau layak huni, dalam arti: menyediakan cukup ruang bagi para penghuninya dan melindungi mereka dari hawa dingin, kelembaban, panas terik, hujan, angin atau ancaman lain terhadap kesehatan, bahaya struktural (structural hazards), serta berbagai penyebab penyakit.

Begitu pula, keamanan fisik para penghuni harus dijamin. Komite mendesak Negara Peserta agar secara komprehensif mengaplikasikan Prinsip Pemukiman Sehat (Health Principles of Housing) yang dikembangkan oleh WHO melihat pemukiman sebagai faktor lingkungan yang paling sering dihubungkan dengan kondisi penyakit dalam analisis epidemiologis; yakni pemukiman serta kondisi kehidupan yang tidak memadai dan kurang baik senantiasa dihubungkan dengan tingginya tingkat kematian dan morbidity.

(e) Aksesibilitas

Pemukiman yang layak haruslah yang dapat diakses bagi mereka yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang tidak beruntung harus diberi akses penuh dan berkesinambungan atas sumber daya pemukiman yang layak. Dengan demikian maka kelompok-kelompok yang tidak beruntung seperti kelompok usia lanjut, anak-anak, penyandang cacat fisik, penyandang penyakit kronis (terminally ill), penderita HIV positif, orang-orang yang mempunyai masalah kesehatan yang terus-menerus, penderita sakit mental, korban bencana alam, orang-orang yang tinggal di wilayah rawan bencana serta kelompok rawan lainnya harus mendapat jaminan atas tingkat pertimbangan prioritas tertentu dalam lingkup pemukiman.

Di sejumlah besar Negara Pihak, peningkatan akses terhadap tanah oleh mereka yang tak punya tanah atau kelompok masyarakat yang miskin haruslah menjadi tujuan utama dari kebijakan. Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah spesifik untuk melindungi hak untuk memperoleh tempat yang aman untuk tinggal dalam kedamaian dan martabat. Negara Pihak juga harus menjamin akses terhadap tanah sebagai hak.

(f) Lokasi

Pemukiman yang layak haruslah berada di lokasi yang memungkinkan dikembangkannya akses terhadap berbagai pilihan kesempatan kerja, pelayanan kesehatan, sekolah, panti perawatan anak serta fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Ini berlaku baik di kota-kota besar maupun di pedesaan di mana waktu tempuh serta biaya perjalanan ke dan dari tempat kerja menuntut anggaran yang tinggi bagi keluarga-keluarga miskin. Begitu pula, pemukiman tidak boleh dibangun di tempat-tempat yang tercemar atau yang sangat dekat dengan sumber pencemaran yang mengancam hak kesehatan para penghuni.

(g) Layak secara budaya (cultural adequacy)

Cara membangun pemukiman, bahan bangunan yang digunakan serta kebijakan yang menunjang kedua hal ini haruslah secara memadai memungkinkan ekspresi berdasar identitas budaya dan keragaman tempat berlindung/pemukiman. Kegiatan yang mengarah pada pengembangan atau modernisasi lingkungan pemukiman harus menjamin agar dimensi kultural dari pemukiman tidak dikorbankan dan agar, antara lain fasilitas teknologi modern secara memadai juga terjamin.[xv]

Kewajiban Negara Pihak sehubungan dengan Hak atas Pemukiman. Komite juga menyatakan bahwa Negara harus mengambil langkah-langkah tertentu yang bersifat segera guna menjamin hak atas pemukiman seberapapun tingkatnya. Menurut Komite, ‘banyak diantara langkah-langkah yang diperlukan untuk mempromosikan hak atas pemukiman hanya membutuhkan kemauan pemerintah untuk tidak melakukan praktik tertentu, serta komitmen untuk memfasilitasi keswadayaan kelompok-kelompok yang terkena akibat.[xvi] Kewajiban negara yang bersifat segera dalam hal pemukiman ialah melakukan pemantauan guna memastikan seberapa jauh derajat masalah tuna wisma maupun masalah pemukiman yang tidak layak yang terdapat didalam wilayah hukum-nya.

Komite dalam hal ini menekankan perlunya memberikan prioritas bagi kelompok-kelompok sosial yang hidup dalam kondisi yang tidak nyaman. Komite juga mencatat bahwa Negara seharusnya tidak membuat kebijakan serta legislasi yang menguntungkan kelompok-kelompok sosial yang sudah beruntung dengan mengorbankan kelompok-kelompok yang tidak beruntung. Komite mengakui bahwa krisis ekonomi yang timbul akibat faktor-faktor eksternal mungkin membawa dampak bagi hak atas pemukiman. Namun begitu, Komite menekankan bahwa ‘kewajiban yang diberikan oleh Kovenan tetap berlaku dan mungkin malah semakin relevan pada masa-masa kontraksi ekonomi.’[xvii] Komite telah menegaskan, merupakan hal yang tidak sesuai dengan kewajiban di bawah Kovenan ini jika kondisi tempat tinggal dan pemukiman menjadi merosot akibat kebijakan serta keputusan legislatif yang diambil oleh Negara Pihak.

Komite mengidentifikasi diadopsinya strategi pemukiman nasional sebagai langkah yang penting. Menurut Komite, strategi demikian haruslah menetapkan tujuan-tujuan bagi pengembangan kondisi perumahan; mengidentifikasi sumberdaya yang tersedia serta cara yang paling hemat (cost-effective) untuk memanfaatkannya; dan menentukan penanggungjawab pelaksanaan serta jangka waktu pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut. Selain itu, strategi demikian harus merupakan hasil dari konsultasi yang luas dengan, serta partisipasi oleh, semua pihak yang berkepentingan, termasuk kaum tuna-wisma, orang-orang yang tinggal di pemukiman yang tidak layak berikut para wakil mereka.[xviii] Langkah-langkah yang ditempuh oleh Negara Pihak bisa melibatkan prakarsa baik dari sektor publik maupun swasta. Bagaimana pun sifat langkah yang ditempuh, Negara diwajibkan untuk menunjukkan bahwa mereka ‘cukup (berupaya untuk) merealisasikan hak bagi setiap individu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan mendayagunakan sebesar-besarnya sumber daya yang tersedia’[xix]

Hak atas Pemukiman dan Badan-badan Internasional. Komite menekankan perlunya kerjasama internasional atas dasar kesepakatan bebas dalam menangani masalah hak atas pemukiman. Komite menyatakan bahwa ‘Negara Pihak, baik selaku pihak penerima maupun pemberi bantuan, harus menjamin agar proporsi pembiayaan yang cukup memadai digunakan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang mengarah pada meningkatnya jumlah orang yang memperoleh pemukiman yang layak. Komite juga secara khusus menyatakan bahwa, institusi-institusi keuangan internasional yang mempromosikan langkah-langkah penyesuaian struktural (structural adjustment) harus menjamin agar langkah-langkah demikian tidak mengorbankan dinikmatinya hak atas pemukiman yang layak.[xx]

Hak atas Pemukiman dan Domestic Legal Remedies. Komite menyatakan, banyak elemen dari hak atas pemukiman yang layak adalah konsisten dengan domestic legal remedies. Komite mengidentifikasi wilayah-wilayah di mana sistim hukum nasional / domestik bisa berperan dalam menjamin hak atas pemukiman, yakni sebagai berikut:[xxi]

(a) legal appeals guna mencegah rencana penggusuran atau peremajaan (demolition) melalui issuance of court-ordered in junctions;

(b) menyediakan prosedur hukum untuk memperoleh ganti rugi akibat penggusuran illegal;

(c) menerima pengaduan atas tindakan illegal yang dilakukan atau didukung oleh pemilik tanah atau landlords, baik negeri maupun swasta yang berhubungan dengan tingkat uang sewa, dwelling maintenance, serta diskriminasi rasial atau bentuk diskriminasi lainnya;

(d) dalam hal adanya dugaan terjadinya diskriminasi dalam bentuk apapun dalam pengalokasian dan penyediaan akses terhadap pemukiman; dan

(e) pengaduan terhadap pemilik tanah (landlords) menyangkut kondisi pemukiman yang tidak sehat atau tidak layak. Dalam beberapa sistim hukum akan dianggap tepat untuk menggali kemungkinan untuk memfasilitasi gugatan berdasar class action sehubungan dengan situasi-situasi peningkatan secara mencolok keberadaan kaum tuna wisma.

Kaitan Hak dengan Masalah Penggusuran Paksa

Komite di dalam Komentar Umum yang diadopsi pada tahun 1991 menyatakan bahwa, kasus-kasus penggusuran paksa merupakan prima facie tidak sesuai dengan persyaratan Kovenan dan hanya bisa dibenarkan dalam keadaan yang sangat terkecuali dan harus sejalan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang relevan.[xxii] Selanjutnya, setelah membahas sejumlah besar laporan kasus gusur paksa termasuk kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran oleh Negara Peserta, Komite memutuskan untuk menerbitkan Komentar Umum lain yang lebih rinci menyangkut gusur paksa. Komentar Umum ini diadopsi oleh Komite pada bulan Mei 1997. Berikut adalah ringkasan dari Komentar Umum dimaksud:[xxiii]

Definisi Penggusuran Paksa. Komite mendefinisikan istilah penggusuran paksa sebagai pengusiran secara permanen ataupun sementara yang bertentangan dengan kehendak individu, keluarga dan/atau komunitas dari rumah dan/atau tanah yang mereka tempati, tanpa pemberian, serta akses pada, bentuk-bentuk perlindungan legal atau perlindungan lainnya yang memadai. Namun begitu, larangan penggusuran paksa tidaklah berlaku terhadap penggusuran yang dilakukan dengan kekuatan yang sejalan dengan hukum dan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Kovenan Internasional mengenai Hak Asasi Manusia

Konteks dimana Penggusuran Paksa Berlangsung. Komite menyatakan bahwa sekalipun praktek penggusuran paksa nampak muncul terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk, namun ia juga terjadi sehubungan dengan pemindahan penduduk secara paksa, internal displacement, relokasi paksa dalam konteks konflik bersenjata, eksodus massal dan gerakan pengungsian. Banyak kasus penggusuran paksa berhubungan dengan kekerasan, seperti penggusuran yang terjadi akibat konflik bersenjata internasional, sengketa internal serta kekerasan komunal atau etnik. Kasus-kasus penggusuran paksa lainnya terjadi dengan mengatas-namakan pembangunan. Penggusuran mungkin dilakukan dalam kaitan dengan konflik hak atas tanah, proyek-proyek pembangunan dan pengembangan infrastuktur seperti pembangunan bendungan atau proyek-proyek pembangkit energi berskala besar lainnya, dengan langkah-langkah pengambil-alihan tanah yang berkaitan dengan peremajaan kota, renovasi pemukiman, program keindahan kota, pencaplokan tanah untuk tujuan agrikultur, spekulasi tanah yang tak terkendalikan, atau penyelenggaraan acara-acara olah raga yang besar seperti Pesta Olimpiade.

Pelanggaran yang Timbul Akibat Penggusuran Paksa. Komite menyatakan bahwa penggusuran paksa secara terang-terangan melanggar hak-hak yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain itu, praktik penggusuran paksa bisa mengakibatkan pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik, seperti hak hidup, hak atas rasa aman, hak untuk bebas dari campur tangan terhadap kehidupan pribadi, keluarga dan rumah tangga serta, hak untuk menikmati kepemilikan dalam kedamaian.

Kelompok Rentan dan Penggusuran Paksa. Komite menyatakan bahwa perempuan, anak-anak, orang muda, lanjut usia, masyarakat adat (indigenous people), minoritas etnik atau minoritas lainnya, serta kelompok-kelompok rawan lainnya semuanya mengalami penderitaan secara tidak proporsional akibat praktik penggusuran paksa. Komite menyatakan bahwa kaum perempuan secara khusus berada dalam posisi yang rawan sebagai akibat dari diskriminasi yang ada yang mereka hadapi sehubungan dengan hak kepemilikan serta akses kepada kepemilikan atau tempat bernaung. Komite meminta perhatian terhadap fakta bahwa kaum perempuan sangatlah rawan terhadap berbagai tindak kekerasan dan serangan seksual jika mereka menjadi tuna wisma. Komite juga menyatakan bahwa ketentuan non-diskriminasi dari Pasal 2 (2) dan Pasal 3 Kovenan memberikan kewajiban tambahan terhadap pemerintah untuk menjamin agar tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun ketika penggusuran terjadi.

Kewajiban Negara Peserta berkait dengan Penggusuran Paksa. Komite menyatakan bahwa kewajiban Negara Pihak sehubungan dengan penggusuran paksa tersebut muncul dari Pasal 11 (1) menyangkut hak atas pemukiman. Komite menegaskan bahwa asumsi yang terkandung dalam Pasal 2 (1) mengenai ‘pencapaian bertahap berdasarkan ketersediaan sumberdaya’ tidak berlaku bagi praktek penggusuran paksa. Komite menyatakan bahwa, Negara itu sendiri harus menahan diri dari penggusuran paksa serta menjamin agar hukum diterapkan terhadap para aparatnya atau pihak ketiga yang melakukan penggusuran paksa.

Menurut Komite, hak untuk tidak digusur secara paksa dilengkapi dengan hak untuk bebas dari campur tangan sewenang-wenang atau yang melanggar hukum terhadap rumah tangga seseorang yang dijamin oleh Pasal 17 (1) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Komite juga menyatakan bahwa kewajiban untuk melindungi hak ini tidaklah bergantung pada ketersediaan sumberdaya. Oleh karenanya, dengan mengacu pada Pasal 17 (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Komite menguatkan argumennya bahwa asumsi pencapaian bertahap tidak berlaku bagi penggusuran paksa.

Kewajiban untuk Memberlakukan Perundangan-undangan Anti Penggusuran Paksa. Komite menyatakan bahwa pemberlakuan perundang-undangan anti penggusuran paksa merupakan landasan penting guna membangun sistim perlindungan yang efektif. Legislasi diperlukan untuk melibatkan dan mendukung langkah-langkah: (a) memberi keamanan yang sebesar-besarnya atas hak sewa bagi mereka yang menempati rumah dan tanah; (b) sejalan dengan Kovenan; dan, (c) dirancang untuk mengendalikan dengan ketat keadaan-keadaan dimana penggusuran berpeluang untuk dilakukan.

Komite menegaskan bahwa legislasi harus juga diberlakukan dalam hubungan dengan semua pelaku yang bertindak dibawah otoritas Negara atau yang bertanggungjawab atasnya. Komite menyatakan bahwa, sehubungan dengan kecenderungan dimana pemerintah mengurangi tanggung jawabnya dalam sektor pemukiman. Negara Pihak harus menjamin agar langkah-langkah legislatif serta langkah-langkah lainnya cukup memadai guna mencegah dan bilamana perlu, menghukum penggusuran paksa yang dilakukan tanpa pengamanan (safeguards) yang memadai oleh perorangan atau badan-badan swasta. Karenanya, Negara Pihak harus mengkaji-ulang legislasi serta kebijakan yang relevan guna menjamin kesesuaiannya dengan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari hak atas pemukiman yang layak serta untuk membatalkan atau mengamendemen legislasi atau kebijakan yang tidak sejalan dengan yang disyaratkan oleh Kovenan.

Perlindungan Prosedural dan Due Process. Komite menyatakan bahwa apabila penggusuran dianggap bisa dibenarkan, maka ia harus dilakukan dengan cara yang sangat sesuai (in strict compliance) dengan ketentuan-ketentuan yang relevan dengan hukum hak asasi manusia internasional dan sejalan dengan prinsip-prinsip umum tentang reasonableness dan proportionality. Komite menganggap bahwa due process merupakan hal yang fundamental dalam hak asasi manusia. Khususnya jika menyangkut penggusuran paksa yang melanggar sejumlah besar hak yang diakui oleh kedua Kovenan Induk.

Komite menyarankan, prosedur perlindungan sebagai berikut:

(a) kesempatan untuk konsultasi secara sungguh-sungguh dengan mereka yang tergusur;

(b) pemberitahuan secara memadai dan masuk akal kepada semua orang yang akan menjadi korban sebelum tanggal dijadwalkannya penggusuran;

(c) informasi mengenai penggusuran yang diusulkan dan bilamana perlu, mengenai maksud untuk apa tanah atau pemukiman tersebut akan digunakan;

(d) harus tersedia dalam waktu yang cukup bagi semua yang akan menjadi korban;

(e) khususnya jika melibatkan berbagai kelompok masyarakat, pejabat pemerintah, maka/atau wakil mereka harus hadir dalam penggusuran;

(f) semua orang yang melaksanakan penggusuran harus diberi tanda pengenal secukupnya;

(g) penggusuran tidak dilakukan ketika cuaca sedang sangat buruk atau pada malam hari kecuali jika disetujui oleh para korban;

(h) penyediaan pemulihan hukum; dan

(i) penyediaan, jika mungkin, bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkannya to seek redress from the court’.

Pemulihan (Remedies) Termasuk Ganti Rugi bagi Korban. Komite menyatakan bahwa sebelum melakukan penggusuran, khususnya yang melibatkan sejumlah besar kelompok orang, Negara Pihak berdasarkan konsultasi dengan para korban akan menggali berbagai alternatif yang bisa ditempuh untuk menghindari atau meminimalkan penggunaan kekuatan. Remedies atau prosedur-prosedur hukum harus disediakan bagi para korban perintah gusuran. Negara Pihak hendaknya mengusahakan agar semua korban berhak atas ganti rugi yang layak atas semua barang milik, baik yang secara personal dan nyata terkorbankan.

Penggusuran tidak boleh membuat orang menjadi tuna wisma atau menjadi rentan terhadap pelanggaran hak-hak asasi lainnya. Manakala para korban tidak mampu mengadakannya sendiri, Negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat, dengan menggunakan sebesar-besarnya sumberdaya yang tersedia, guna menjamin agar pemukiman pengganti yang layak, resettlement atau akses kepada tanah yang produktif, tergantung pada kasusnya menjadi tersedia.

Badan-badan Internasional dan Penggusuran Paksa. Sehubungan dengan proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh badan-badan internasional yang mengakibatkan penggusuran paksa, Komite menyatakan bahwa badan-badan internasional harus sejauh mungkin menghindari keterlibatan dalam proyek-proyek... yang melibatkan penggusuran atau displacement berskala besar terhadap orang-orang, yang dilakukan tanpa memberikan perlindungan serta ganti rugi sepenuhnya. Setiap upaya harus dilakukan, pada setiap tahap proyek pembangunan, guna menjamin agar hak-hak yang terkandung dalam Kovenan benar-benar dijadikan pertimbangan.

Pasal 12, Hak atas Kesehatan

Pasal ini berhubungan dengan kesehatan jasmani dan mental penduduk. Komite mengharapkan informasi mengenai seberapa besar akses kepada perawatan kesehatan tersedia bagi penduduk. Komite juga mengharapkan informasi mengenai setiap kelompok yang kesehatannya lebih buruk dibanding mayoritas penduduk. Komite menganggap bahwa hak atas kesehatan meliputi hak atas lingkungan yang aman dan sehat. Komite sedang dalam tahap mengelaborasi cakupan Pasal 12.

Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam Pasal 12 ini adalah hak atas kesehatan dengan standar tetinggi yang dapat dicapai. Hak ini merupakan hak setiap orang untuk menikmati beragam fasilitas, produk dan layanan, dan kondisi pelayanan kesehatan yang memadai dan dalam standar tertinggi Hal ini konsisten dengan prinsip kebebasan (freedom) dan kepemilikan hak (entitlement) dan menegaskan keterkaitan perlunya realisasi hak-hak lain yang berkait dengan hak atas kesehatan, seperti masalah makanan dan nutrisi, akses terhadap air bersih yang aman dan sanitas yang layak, kondisi kerja yang sehat dan aman, perumahan, lingkungan yang sehat, pendidikan, dan partisipasi.

Hak atas kesehatan meliputi hak untuk terhindarkan dari kelahiran-mati, kematian anak/bayi dan berkembangnya sebagai anak yang sehat; hak atas perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; hak untuk menikmati pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; hak untu menikmati penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam sakitnya seseorang (Pasal 12 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2005).

Formulasi hak atas kesehatan meliputi:

Ketersediaan (Availabity) adalah berfungsinya fasilitas, produk dan layanan kesehatan untuk umum, terdapat dalam beragam dan jumlah yang cukup, dan meliputi berbagai hak-hak asasi lain yang terkait dengan hak atas kesehatan. Biaya untuk berfungsinya hal-hal tersebut didukung oleh Anggaran nasional/daerah.

Keteraksesan Fisik (Physical Accessibility) meliputi amannya akses fisik atas fasilitas, produk, dan layanan kesehatan, dan termasuk akses untuk memasuki gedung ‘layanan’ kesehatan bagi seseorang dengan kemampuan beda (person with disabilities). Dengan begitu keteraksesan fisik menunjuk pada ketersediaan infrastruktur publik, seperti jalan arteri, jalan raya, bangunan layanan kesehatan, manajemen dan kendali lalu lintas, termasuk konstruksi gedung yang mudah/dapat diakses oleh seseorang dengan kemampuan beda. Semua ini dapat disediakan dengan Anggaran nasional atau daerah.

Keteraksesan Ekonomi (Economic Accessibility) didasarkan pada prinsip kesetaraan (non-diskriminasi) maka yang ditentukan dalam keteraksesan fisik harus dapat dijangkau oleh semua. Keteraksesan ekonomi dipengaruhi oleh harga layanan dan produk kesehatan, di mana biasanya juga dipengaruhi oleh kebijakan pajak terkait dengan proses Anggaran.

Akses Informasi (Information Accessibility) di mana hak untuk mencari, menerima, dan mengembangkan informasi dan gagasan berkait dengan isu kesehatan nyata dipengaruhi oleh program-program Departemen Kesehatan atau Kanwil/Dinas Kesehatan yang pada faktanya juga tergantung pada jumlah atau alokasi dana dalam Anggaran.

Kualitas (Quality), hal ini menghendaki bahwa berfungsinya A harus diikuti dengan program dan tenaga yang secara basis pengetahuan dan tata cara perawatan bekualitas baik. Klausula Kualitas juga termasuk profesional-medik yang trampil, memilih sah secara hukum untuk praktek medik, peralatan rumah sakit yang baik dan memenuhi standar yang ditentukan, obat-obatan yang tersedia tidak lewat-waktu (unexpired drugs), air yang bersih dan aman, sanitasi yang layak. Masalah kualitas tersebut tidak dapat secara aman, disediakan dan dirawat dengan baik oleh Pemerintah jika tidak ada dukungan alokasi dari Anggaran.

Pasal 13, Hak atas Pendidikan

Pasal ini berhubungan dengan hak atas pendidikan dalam keseluruhan dimensinya. Komite mengharapkan informasi mengenai pendidikan yang disediakan pada tingkat dasar, menengah dan tinggi serta program-program pendidikan bagi orang dewasa. Di bawah Kovenan, Negara Pihak harus menyediakan pendidikan dasar secara gratis dan itu, wajib. Kovenan mensyaratkan agar Negara Pihak mengambil langkah-langkah yang terinci guna memenuhi kewajiban ini. Penyediaan pendidikan dasar harus dilaksanakan segera dan dan tidak termasuk dalam klausul pelaksanaan bertahap (realisasi progressif).

Komite mengharapkan informasi spesifik menyangkut kelompok-kelompok yang kurang beruntung dan rentan. Misalnya informasi mengenai anak-anak perempuan, anak-anak dari kelompok berpenghasilan rendah, anak-anak di wilayah pedesaan, anak-anak yang mengalami cacat jasmani atau cacat mental, anak-anak kaum imigran atau buruh migran, anak-anak dari kelompok minoritas baik dari segi bahasa, ras, agama atau lainnya serta anak-anak dari kelompok masyarakat adat/suku terasing.[xxiv] Komite juga menekankan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan hak-hak tertentu lainnya. Misalnya, Pasal 27 ICCPR mengakui hak kaum minoritas untuk menggunakan bahasan mereka sendiri dan hak ini tidak boleh dilanggar dengan mengatas-namakan pemenuhan hak pendidikan.

Hak atas pendidikan menegaskan pengakuan akan hak setiap orang atas pendidikan, di mana pendidikan mampu memandu perkembangan kepribadian manusia seutuhnya, kesadaran akan harga diri dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan manusia yang mendasar. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2005 lebih lanjut dijelaskan bahwa, pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa, semua kelompok ras, ethnis atau agama, dan mempromosikan agenda hak asasi manusia dan pemeliharaan perdamaian.

Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menilai terkait dengan ketentuan di atas bahwa Negara harus menjamin atas pendidikan sesuai dengan sasaran dan pendidikan yang diidentifikasi pada Pasal 13 ayat (1) sebagaimana diintepretasikan dalam:[xxv]

o Deklarasi Dunia mengenai Pendidikan untuk Semua (Jomitmen, Thailand, 1990)

o Deklarasi Wina dan Program Aksi (Bagian I, paragraf 33 dan Bagian II paragraf 80)

o Dekade Perserikatan Bangsa Bangsa bagi Pendidikan Hak Asasi Manusia (paragraf2).

Hak atas pendidikan meliputi (Pasal 13 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2005):

  • Pendidikan dasar (harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang)
  • Pendidikan lanjutan (dalam berbagai bentuk, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan)
  • Pendidikan tinggi (…harus tersedia bagi semua orang secara merata dan atas dasar kemampuan)
  • Pendidikan mendasar (ditingkatkan untuk orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar)
  • Memfungsikan sistem sekolah (diupayakan secara aktif, sistem beasiswa yang memadai, kondisi materiil bagi para pengajar)

Hak atas pendidikan berdasar ‘kebebasan’ dalam hal pendidikan, berdasar Pasal 13 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2005 diatur:

o Kebebasan orang tua dan wali yang sah memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidikan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh Negara;

o Kebebasan orang tua dan wali yang sah sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

Sedangkan ‘entitlement’ dari hak atas pendidikan berdasarkan General Comment No. 13 adalah meliputi:

Ketersediaan (Availability) –-yakni institusi-institusi dan program-program pendidikan yang berfungsi harus tersedia dalam kuantitas / jumlah yang memadai.

Keteraksesan (Accessibility) ---institusi – institusi pendidikan dan program harus dapat diakses setiap orang, tanpa diskriminasi: dengan maksud pendidikan harus dapat diakses oleh setiap orang, terutama kelompok yang paling rentan dalam hukum maupun dalam kenyataan.

Keteraksesan Fisik (Physical Accessibility) ---pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman, baik secara kehadiran pada lokasi geografis yang cukup mudah (misalnya, sekolah di lingkungan kehidupan sosial kemasyarakatan) atau melalui teknologi modern (akses pada pembelajaran jarak jauh melalui internet)

Keteraksesan Ekonomi (Economic Accessibility) di mana pendidikan harus terjangkau secara ekonomi. Pasal 13 ayat (2) mengatur berdasar tingkatan, namun Negara harus mengupayakan atau mempromosi pendidikan menengah dan tinggi yang bebas biaya.

Keberterimaan (Acceptability) yang menyatakan maksud bahwa, bentuk dan isi dari pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajaran harus dapat diterima oleh murid, dan pada kasus tertentu oleh orang tua. Dalam konteks Keberterimaan ini berlaku sasaran pada Pasal 13 ayat (1) dan standar minimum pendidikan (Pasal 13 ayat (3) dan (4)).

Penyesuaian (Adaptabibilty) di mana pendidikan harus fleksibel agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas yang berubah-rubah dan tanggap terhadap kebutuhan murid dalam lingkungan sosial dan budaya yang beragam.

Penerapan atas ciri-ciri pokok ‘entitlement’ di atas, General Comment No. 13 menegaskan bahwa kepentingan murid akan menjadi pertimbangan utama.

Pasal 15, Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan menikmati hasil-hasil kemajuan sains

Pasal ini mengandung tiga elemen. Pertama berhubungan dengan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya. Elemen kedua mennyangkut hak untuk menikmati berkah dari kemajuan sains berikut aplikasinya. Yang ketiga berhubungan dengan hak bagi semua orang untuk mendapatkan keuntungan dari perlindungan moral serta kepentingan material yang dihasilkan dari setiap karya sains, karya tulis atau karya seni dimana dia menjadi penulisnya


Disiapkan oleh: Andik Hardiyanto


[i] General Comment 3 (Fifth Session, 1990), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by the Human Rights Treaty Bodies, UN Document, HRI/Gen/1/Rev.1, Juli 1994.

[ii] Philip Alston, ‘The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights’, dalam Manual on Human Rights Reporting, United Nations Publication, Sales, No. E.91.XIV.1

[iii] Lihat catatan 15 (h. 224)

[iv] Ibid. (h. 226-247)

[v] Ibid.

[vi] Ibid.

[vii] Ibid.

[viii] Lihat catatan 25.

[ix] Ibid.

[x] General Comment 4 (Sixth Session, 1991), Compilation of General Comments and General Recommendations Adopted by Human Rights Treaty Bodies, UN Document, HRI/Gen/1/Rev.1, July 1994

[xi] Ibid.

[xii] Ibid.

[xiii] Ibid.

[xiv] Ibid.

[xv] Ibid.

[xvi] Ibid.

[xvii] Ibid.

[xviii] Ibid.

[xix] Ibid.

[xx] Ibid.

[xxi] Ibid.

[xxii] Ibid.

[xxiii] General Comment No. 7 (1997), E/C.12/1997/4

[xxiv] Lihat catatan 25.

[xxv] The UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights, General Comment No. 13, Rights to Education, diadopsi pada Sesi Ke-21, 15 Des – 3 Des 1999, E/C.12/1999/10, para 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar